MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Perdagangan produk yang mengandung karapas penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di Indonesia masih tinggi, dengan nilai ekonomi diperkirakan sekitar Rp 5 milyar. Investigasi terbaru tim PROFAUNA Indonesia mengungkap fakta perdagangan produk penyu sisik illegal itu masih banyak terjadi di Bali, Nias Sumatera Utara dan juga dijual secara online.
Perdagangan produk mengandung karapas penyu sisik itu paling banyak dijual secara online. Selama bulan Agustus hingga September 2019, tim melakukan survey di 11 platform online untuk mengetahui perdagangan penyu sisik. Kesebelas platform yang disurvey itu adalah Facebook, Instagram, Shoppe, Tokopedia, Bukalapak, Carousell, Prelo, Kaskus, Belanjaqu, Blogspot dan website. Hasilnya ditemukan 1574 iklan dan 199 akun yang terkait perdagangan penyu sisik secara online.
Produk mengandung penyu sisik yang dijual secara online itu antara lain dalam bentuk cincin, gelang, kalung dan aksesoris lainnya. Jumlah total item yang ditawarkan secara online itu ada 29.326 item dengan nilai uang diperkirakan sekitar Rp 5 milyar.
Harga produk mengandung penyu sisik itu ditawarkan dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 15.000 untuk cincin yang sederhana, hingga jutaan rupiah untuk kipas tangan.
Rosek Nursahid, Ketua PROFAUNA Indonesia, menekankan, selain diperdagangan secara online, produk mengandung penyu sisik juga masih dijual di banyak toko di Bali dan Nias. Survey tim pada bulan Juni-September 2019 di Bali, dari 353 toko yang dikunjungi itu ada 25 toko yang menjual produk mengandung penyu sisik.
“Lokasi utama di Bali yang banyak menjual produk mengandung penyu sisik berada di Sukawati. Dari 22 toko yang dikunjungi, tercatat ada 13 toko yang menjual produk penyu sisik. Selain Sukawati, produk mengandung karapas penyu sisik juga dijual di Denpasar, Dalung dan Ubud,” jelas Rosek dalam rilis yang diterima MENARAnews.com, Senin (16/12/2019).
Sementara itu perdagangan produk mengandung penyu sisik di Pulau Nias, ditemukan di 4 lokasi yaitu di kota Gunung Sitoli, Desa Bawomataluo, Sorake dan Teluk Dalam. Dari 14 toko yang dikunjungi, semuanya tercatat menjual produk mengandung penyu sisik.
Produk mengandung penyu sisik yang ditawarkan di Pulau Nias itu lebih bervariasi dibandingkan yang ada di Bali. Di Nias ditemukan produk dalam bentuk tas pinggang, jepit rambut, alat petik gitar, kotak kartu, anting, gantungan kunci, tali jam tangan dan miniatur rumah tradisional Nias.
Masih maraknya perdagangan produk mengandung penyu sisik di Indonesia itu mendorong sejumlah organisasi non pemerintah (NGO) akan melakukan kampanye untuk memerangi perdagangan penyu sisik tersebut. Kampanye yang mengusung jargon “Keren Tanpa Sisik” itu akan dilakukan oleh koalisi NGO yang terdiri dari PROFAUNA Indonesia, Yayasan Penyu Indonesia (YPI), dan Turtle Foundation International dari Jerman.
“Selain faktor lemahnya penegakan hukum, penyebab maraknya perdagangan produk mengandung penyu sisik itu adalah akibat rendahnya kesadaran masyarakat yang masih membeli produk itu. Alasan itulah yang mendorong koalisi NGO akan segera meluncurkan kampanye secara nasional untuk mengajak masyarakat berhenti membeli produk yang mengandung penyu sisik,” pungkasnya.
Penyu sisik sudah masuk jenis satwa yang dilindungi undang-undang. Artinya penangkapan atau perdagangannya, baik dalam kondisi hidup maupun bagian tubuhnya seperti sisiknya itu dilarang.
“Menurut UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perdagangan satwa dilindungi seperti penyu itu diancam hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta,” tegasnya. (DI)
Editor: N. Arditya