Pembekalan Caleg PBB Bali: Himbau Caleg Lakukan Kampanye Dialogis "Door to Door"

MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Kurang dari 100 hari memasuki pentahapan pemilu 2019, Dewan Perwakilan Wilayah (DPW PBB) Bali terus berbenah di tengah berbagai isu yang menerpa dalam tahun politik kemarin. Hal tersebut terlihat ketika pelaksanaan pembekalan terhadap 21 orang Caleg PBB Provinsi Bali.

Dalam sambutannya Ketua DPW PBB Bali, H. Sudharmo menekankan bahwa kali ini DPW PBB Bali telah memenuhi janji untuk mengumpulkan seluruh pengurus DPC PBB se-Bali dalam rangka melaksanakan konsolidasi.

“Kurang dari 100 hari lagi akan tiba hari pencoblosan oleh karena itu diharapkan agar seluruh Caleg mempersiapkan diri agar bisa terpilih dan dapat membawa amanat rakyat dan kepada seluruh Caleg yang hadir agar dapat mendengarkan dengan baik mengenai cara penghitungan suara dari KPU agar kedepannya bisa ditentukan strategi yang tepat sehingga perolehan suara PBB Bali dapat memenuhi target”, jelasnya saat mebuka acara di rumah Makan Wong Solo Denpasar, Minggu (6/1/2019).

Lebih lanjut dalam tahapan kampanye ini sangat banyak Caleg yang salah strategi dalam mendulang suara. Caleg cenderung memasang baliho yang banyak padahal hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh baliho dalam menaikkan elektabilitas tidak lebih dari 5 persen. Oleh karena itu, disini saya sampaikan bahwa yang cara paling tinggi dalam menaikkan elektabilitas adalah kampanye dialogis yaitu door to door kepada masyarakat dalam menyampaikan visi misi serta mendengar apa yang menjadi keinginan rakyat.

“Masih ada 98 hari lagi sebelum hari pencoblosan dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh Caleg untuk menyusun ulang strategi dalam berkampanye sehingga dapat memperoleh suara yang maksimal dalam Pemilu nanti mengingat cara menghitung suara dalam Pemilu 2019 ini berbeda dengan Pemilu sebelumnya”, papar Komisioner KPU Bali, I Gede John Dharmawan.

Pemilu 2014 menggunakan metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) dalam menentukan jumlah kursi, Sementara pemilu 2019 akan menggunakan teknik Sainte Lague untuk menghitung suara.

“Metode ini diperkenalkan oleh seorang matematikawan asal Perancis bernama Andre Sainte Lague pada tahun 1910. Sementara di Indonesia regulasi ini disahkan pada 21 Juli di DPR RI dengan menggabungkan tiga undang-undang pemilu, yakni UU 8 2012 tentang Pemilu Legislatif, UU 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”, ujarnya dihadapan puluha caleg PBB.

Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, menyebutkan bahwa partai politik harus memenuhi ambang batas parlemen sebanyak 4 persen dari jumlah suara. Hal ini diatur dalam Pasal 414 ayat 1.

Sesudah partai memenuhi ambang batas parlemen, langkah selanjutnya adalah menggunakan metode Sainte Lague untuk mengkonversi suara menjadi kursi di DPR. Hal itu tertera dalam Pasal 415 (2), yaitu setiap partai politik yang memenuhi ambang batas akan dibagi dengan bilangan pembagi 1 yang diikuti secara berurutan dengan bilangan ganjil 3, 5, 7 dan seterusnya.

Adapun cara menghitung apabila dalam satu daerah pemilihan (dapil) tersedia 6 kursi sebagai berikut: Misalnya perolehan suara Partai A : 24.000 suara, Partai B : 15.000 suara, Partai C : 9.000 suara, dan Partai D : 5.000 suara.

Cara menentukan kursi pertama, yaitu Masing-masing partai akan dibagi dengan angka 1. Partai A 24.000/1 = 24.000, Partai B 15.000/1 = 15.000, Partai C 9.000/1 = 9.000, Partai D 5.000/1 = 5.000, Dengan hasil pembagian itu, maka yang mendapatkan kursi pertama di dapil tersebut adalah Partai A dengan jumlah 24.000 suara.

Berhubung Partai A sudah menang pada pembagian 1, maka untuk selanjutnya Partai A akan dihitung dengan pembagian angka 3. Sementara Partai B, C dan D tetap dibagi angka 1. Partai A 24.000/3 = 8.000, Partai B 15.000/1 = 15.000, Partai C 9.000/1 = 9.000, Partai D 5.000/1 = 5.000. Maka yang mendapatkan kursi kedua adalah Partai B dengan perolehan 15.000 suara.

Semenrara untuk menentukan kursi ketiga, maka Partai A dan Partai B akan dibagi dengan angka 3. Sementara Partai C dan D akan dibagi dengan angka 1. Partai A 24.000/3 = 8.000, Partai B 15.000/3 = 5.000, Partai C 9.000/1 = 9.000, Partai D 5.000/1 = 5.000,l. Maka yang mendapatkan kursi ketiga adalah partai C dengan perolehan 9.000 suara.

Untuk menentukan kursi keempat, maka Partai A, Partai B dan Partai C akan masing-masing dibagi dengan angka 3, sementara Partai D akan tetap dibagi 1. Partai A 24.000/3 = 8.000, Partai B 15.000/3 = 5.000, Partai C 9.000/3 = 3.000, Partai D 5.000/1 = 5.000. Maka yang mendapatkan kursi keempat adalah Partai A dengan perolehan 8.000 suara.

Cara menentukan kursi kelima, berhubung Partai A sudah mendapatkan dua kursi, yakni kursi pertama dan kursi keempat, maka selanjutnya Partai A akan dibagi dengan angka 5. Sementara Partai B, Partai C dan Partai D dibagi dengan masing-masing angka 3. Partai A 24.000/5 = 4.800, Partai B 15.000/3 = 5.000, Partai C 9.000/3 = 3.000, Partai D 5.000/3 = 1.666. Dengan demikian maka yang mendapatkan kursi kelima adalah Partai B dengan perolehan 5.000 suara.

Sedangkan cara keenam, berhubung Partai A dan Partai B masing-masing sudah mendapatkan dua kursi, maka kedua partai tersebut akan dibagi 5. Sementara Partai C dan Partai D masih tetap dibagi 3. Partai A 24.000/5 = 4.800, Partai B 15.000/5 = 3.000, Partai C 9.000/3 = 3.000, Partai D 5.000/3 = 1.666. Dengan demikian, maka yang mendapatkan kursi keenam adalah Partai A dengan perolehan 4.800 suara.

Dengan demikian, total perolehan kursi dalam simulasi tersebut Partai A sebanyak 3 kursi, Partai B 2 kursi dan Partai C 1 kursi. Adil tidaknya pola pembagian seperti itu masih relatif.

“Dalam hal ini bagi partai kecil hal itu tidak adil karena akan kalah dengan perolehan suara partai besar dimana suara bisa sangat timpang. Sementara bagi partai besar pola seperti itu menguntungkan karena tidak ada suara terbuang”, tutupnya. (NN)

Editor: N. Arditya