MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Kelian Adat Banjar Sakah, Desa Pemogan, AA Gede Agung Aryawan ST yang dikenal Gung De meminta Gubernur Bali Wayan Koster membuat kajian jelas terkait usulan revisi Peraturan Presiden (Perpres) 51 Tahun 2014 tentang perubahan atas peraturan Presiden Nomor 45/2011 Tentang Rencana Tata Ruang Denpasar – Badung – Gianyar – Tabanan (Sarbagita).
“Kalau dasarnya Teluk Benoa sebagai Kawasan Suci, mana mungkin bisa membangun fasilitas umum yang bukan tujuannya untuk tujuan agama,” kata Gung De di Denpasar, Selasa (2/1).
Menurutnya, kesucian di Bali itu berdasarkan dasar keagamaan makanya di rekomendasikan oleh tokoh agama yang ada di Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI).
Apabila fasilitas umum di kawasan suci yang layak dibangun adalah pura sebagai tempat melaksanakan prosesi keagamaan khususnya Hindu bukan bangunan tanpa tujuan tersebut. Namun pada kenyataanya, alasan dinyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan suci tidak tepat.
“Jika sudah mengacu pada alasan kawasan suci seharusnya apapun alasannya tidak boleh ada reklamasi, pasalnya Pelindo melakukan reklamasi lahannya dikontrak oleh investor swasta, trus apa bedanya bahkan semua bangunan terancam dipindahkan,” tegasnya.
Ia justru mengajak menjaga martabat kesucian kawasan dengan dasar-dasar agama yang dimiliki seperti “Tri Mandala”.
Disamping itu, pihaknya mengingatkan kembali sejarah Teluk Benoa sebagai pelabuhan jaman kerajaan, lalu dilanjutkan pada jaman Jepang.
Bagaimana bisa berwacana kawasan suci bisa membangun fasilitas untuk kegiatan di luar keagamaan. Apalagi dasarnya adalah Pura Karang Tengah dan pura lainnya.
Nanti kawasan suci lain juga di bolehkan juga membangun tempat limbah WC yang hasil olahan sengaja dialirkan ke Teluk Benoa sebagai kawasan suci.
“Kita jangan memaksa penolakan dengan membawa kesucian dalam ajaran agama kita,” mintanya. Padahal jelas, tempat suci besar saja, banyak ada bangunan yang masih dikomersialkan.
“Kita tidak tahu mereka itu datang bulan atau tidak. Hanya dengan sewa selendang selesai urusan kesucian bisa masuk pura,” ungkapnya.
Dengan demikian, sebaiknya menolak investor TWBI sebagai investor Reklamasi Teluk Benoa melalui kajian AMDAL atau kajian lainnya yang lebih intelek dan akademis
Jika hal itu tidak ditempuh, nampak dipaksakan dan akan terjadi “image” yang sangat tidak baik seiring kemampuan intelektual masyarakat Bali yang makin kritis.
Malahan jadi bahan olok-olokan, mengingat masalah kawasan suci Teluk Benoa sengaja dialirankan air limbah WC dari IPAL DSPD dan Lagoon ITDC Nusa Dua.
Untuk itu, jika adanya memaksakan diri dalam menyatakan Teluk Benoa sebagai kawasan suci sangat kelihatan sekali ada kepentingan yang sangat tendensius. Ia berharap, pemerintah tidak membuat aturan yang terlalu memaksa.
“Pakai hati nurani sehingga kita masih punya idealisme untuk benar-benar menjaga Bali, bangunan itu boleh tetapi bangunan ini tidak, dimana ada aturan seperti itu” imbuhnya.
Sebaiknya pihak-pihak terkait bicara tentang kesucian tidak hanya karena ada proyek besar. “Maka sebagai masyarakat Bali saya malu melihatnya,” keluhnya.
Ia menilai, pendapat dan wacana muncul saat mega proyek saja, apalagi tentang kesucian. Padahal banyak hal-hal prinsip yang jauh lebih serius terkait kawasan suci yg harus di sikapi oleh para tokoh agama.
“Saya tidak setuju ada bangunan apapun di Teluk Benoa kalau memang itu adalah kawasan suci,” ujarnya.
Sepatutnya memasuki era globalisasi yang berlandaskan akademis. Belajar menolak dengan cerdas logis dan masuk akal, sehingga tidak terkesan sedikit-sedikit menolak pembangunan dengan alasan kesucian.
Hal itu mengkhawatirkan pada masa yang akan datang, menimbulkan sebuah kerancuan aturan dari rekomendasi tokoh agama terkait kawasan suci di tempat lain.
“Ini keputusan sangat subjektif tanpa pertimbangkan aturan literatur yang kita pakai dasar,” imbuhnya.
Ia juga meminta agar Teluk Benoa jika masih bersikukuh ditetapkan sebagai kawasan suci, seharusnya tidak boleh ada aktivitas. Sehingga jelas sebagai kawasan konservasi
Begitu juga, semua bangunan di Teluk Benoa sebagai kawasan suci di bongkar lalu pindahkan lokasinya.
Upaya itu agar tidak ada rekomendasi berdasarkan sosial keagamaan terkait kawasan suci yang perlakuannya beda.
Disamping itu, jika Hutan Mangrove di Teluk Benoa kembali sebagai zona konservasi maka tidak akan pernah memberi manfaat sosial ekonomi kepada masyarakat setempat.
Selanjutnya, siapa yang akan menjaga dan merawat keberadaan Hutan Mangrove jika tidak memiliki manfaat sosial ekonomi, begitu pula kondisi sampahnya yang memprihatinkan. (NN)
Editor: N. Arditya