Pertemuan Catatan Akhir Tahun 2018, LBH Bali: Pariwisata Massal Di Titik Nadir

MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Bertajuk Pertemuan Catatan Akhir Tahun 2018, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Bali (YLBHI Bali) soroti dinamika pariwisata massal. Berdasarkan penanganan kasus yang dilakukan oleh LBH Bali terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting dan memerlukan keseriusan aparat penegak hukum dan pemerintah dalam penanganannya seperti permasalahan buruh dan lingkungan terkhusus yang berhimpitan dengan keberlangsungan pariwisata. “Bahan dagangan di Bali adalah pariwisata budaya, namun sekarang pariwisata massal yang semestinya mampu memperkuat kaum buruh justru menjadikan hal tersebut objek yang diperdagangkan mengingat gajinya terkategori masih jauh dari kata layak”, jelas Direktur LBH Bali, Sabtu (29/12/2018), di Kantor LBH Bali Jalan Plawa, Denpasar.

Disisi lain, Devisa Bali yang disumbangkan kepada negara sekitar diatas 40 Triliun seharusnya mampu mensejahterakan masyarakat, justru tidak mampu berdampak banyak mengingat biaya hidup semakin tinggi. “Banyak pekerja diberikan upah minimum padahal sudah bekerja sangat lama, dan adanya kebijakan outsourcing hal tersebut mengindikasikan perusahaan tidak mau untuk membayar pesangon.

Permasalahan yang lain adanya beban kerja yang tinggi terhadap buruh perempuan yang sedang hamil, upah pekerja yang tidak dibayar, hingga pemutusan hubungan kerja sewenang-wenang karena minimnya pengawasan dari pihak terkait”, ujar Ni Kadek Vanny Primaliraning, saat membuka diskusi yang bertemakan Pariwisata Massal Di Titik Nadir.

Kadek Vanny juga mengkhawatirkan tingginya alih fungsi lahan pertanian dimana berdasarkan data BPS luas lahan persawahan 563.656 Hektar dan 37 persen dari itu sudah dibangun pariwisata massal. “Salah satu dampak alih fungsi lahan krisis air namun untuk hotel khususnya di Jimbaran air tersuplai terus padahal terdapat masyarakat yang masih terbatas memperoleh air dan informasi dari Ketua For Bali, Gendo bahwa setiap tahun rata-rata 1.000 Hektar digunakan untuk pembangunan pariwisata”, sebutnya.

Sementara itu salah satu Dosen yang membidangi Ketatanegaraan dan Perburuhan menjelaskan bahwa ada yang salah dalam sistem perburuhan di Indonesia dimana dalam menghadapi masalah perburuhan negara dihadapkan dengan kebutuhan uang dan apabila di Bali hal tersebut erat kaitannya dengan pariwisata massal yang notabenenya saat ini seakan akan berkonotasi berbeda yakni memassalkan pariwisata. “Pariwisata massal itu tidak salah namun yang salah adalah memassalkan pariwisata dan adanya budaya berpariwisata bukan lagi pariwisata budaya. Bisnis pariwisata berdampak boros lahan dan air, serta listrik. Bali juga mengalami lompatan dari sektor primer ke tersier”, ungkap Wayan Gede Wiryawan. (NN)

Editor: N. Arditya