MENARANEWS.COM (Semarang) – Mendapati masih sulitnya mewujudkan Pengadilan HAM di Indonesia terutama dalam mengungkap dalang dalam kasus petrus (penembak misterius) membuat Bathi Mulyono, seorang saksi hidup kasus petrus, mempertanyakan manfaat PPHAM hasil Kepres pemerintahan Jokowi dalam menyelesaikan pelanggaran HAM melalui non judicial.
"Saya adalah saksi hidup yang selamat dari Petrus. Dan saat ini kami sedang sedang mempertimbangkan untuk melakukan upaya hukum terhadap Keppres ini, bahkan jika memungkinkan ke HAM International," ucapnya dalam diskusi bertajuk Menagih Janji Keadilan Korban Petrus yang digelar di Kampus Universitas Stikubank (Unisbank), Selasa (25/10/22)
Dalam acara yang terselenggara hasil kerjasama Forum Wartawan Pemprop Jateng (FWPJT) dengan Fakultas Hukum & Bahasa UNISBANK serta Omah Publik, tersebut juga turut hadir Prof Komarudin, mantan rektor UIN sebagai perwakilan dari tim PPHAM serta Karman Sastro, Ketua Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) UNISBANK Semarang.
Karman Sastro menyampaikan, bahwa status kasus petrus adalah sama dengan kasus pelanggaram HAM lainnya, seperti halnya Tragedi Talangsari Lampung yang mana korbannya dari berbagai Kabupaten di Jawa Tengah.
Pengacara senior tersebut berpendapat, mekanisme terwujudnya pengadilan HAM harus melalui usulan DPR RI yang merupakan lembaga politik, baru Presiden menerbitkan Keppres.
“Inilah yang menjadi tarik ulur kasus pelanggaran ham. Jika ingin pengadilan HAM terwujud, mungkin penting merevisi UU No 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM,” terangnya.
Sementara itu Prof. Komarudin dari tim PPHAM dalam hal ini profesional dan tetap open komunikasi dengan korban pelanggaran HAM.
“Kami di PPHAM akan bekerja dan menjalin komunikasi dengan korban pelanggaran HAM, dengan mendasarkan pada kepentingan korban dan menyelesaikan pelanggaran HAM secara non judicial,” pungkasnya. (Nungki)