Terapkan Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat, Bendesa Adat: Secara Prinsip Menolak Reklamasi Teluk Benoa

MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Bertempat di Rumah Sanur, Jalan Danau Poso No. 51A, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali menggelar acara dengan tema Bali Berkelanjutan, Festival Wilayah Kelola Masyarakat, Minggu (10/3/2019).

Sesuai dengan tema tersebut, Walhi Bali menyuguhkan bincang santai dengan tajuk “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat”. Dua Narasumber yang merupakan Bendesa adat turut dihadirkan, yaitu I Made Gandra selaku Bendesa Adat Padangtegal dan DR. I Wayan Mertha, S.E, M.Si selaku Bendesa Adat Kedonganan.

Masing – masing Bendesa adat diberi kesempatan untuk menyampaikan bagaimana Desa adat dapat melakukan pengelolaan secara mandiri, yang berbasis masyarakat, tentunya tanpa bantuan dari investor asing. Para Bendesa adat pun menekankan bahwa pengelolaan pariwisata itu sengaja dilakukan berbasis masyarakat agar masyarakat tetap dapat merasakan manfaat dari pengelolaan pariwisata yang dimiliki desa mereka dan sepenuhnya menjadi hak aset desa.

I Made Gandra menjelaskan bagaimana kesejahteraan masyarakat Desa Padangtegal terbangun dengan keberhasilan pengelolaan mandiri pariwisata Mandala Suci Wenara Wara atau biasa disebut Monkey Forest Ubud, Gianyar. Dari mulai terbukanya lapangan kerja bagi masyarakat desa hingga terpenuhinya kebutuhan biaya pendidikan dan kesehatan masyarakat. Bahkan, kelestarian lingkungan pun tetap terjaga dan terawasi oleh masyarakat desa itu sendiri.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh DR. I Wayan Mertha, S.E, M.Si terhadap pengelolaan Wisata Kuliner di Kedonganan. Bendesa adat berhasil membantu pemerataan kepemilikan 24 wisata kuliner atau Cafe kepada 1250 Kepala Keluarga (KK) di 6 Banjar. Sekarang tiap banjar memiliki masing – masing 4 Cafe yang sepenuhnya dikelola sendiri oleh Desa Kedonganan. Bendesa adat baru – baru juga sempat melakukan penolakan atas investasi besar yang berencana masuk ke Kedonganan. Namun atas dasar pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat, investor itupun batal melakukan investasinya.

Kemandirian pengelolaan pariwisata masyarakat ini seharusnya bisa menjadi gambaran bagi Pemerintah bahwa masyarakat, khususnya Bali sebenarnya sudah mampu melakukan pengelolaan terhadap tanah yang dimilikinya. Mungkinkah Pemerintah akan mempercayakan pengelolaan penuh Teluk Benoa pada masyarakat?

Menanggapi hal tersebut, Bendesa adat pada prinsipnya menolak adanya reklamasi Teluk Benoa. Apalagi kalau sampai berdampak pada hasil jerih payah masyarakat terhadap Pariwisata yang telah berhasil dikelola, baik itu di Padangtegal maupun di Kedonganan. Walaupun keputusan tersebut sepenuhnya adalah kebijakan Pemerintah, Bendesa adat berharap pada Pemerintah agar masyarakat dilibatkan penuh dalam pengelolaan tanah milik masyarakat, sehingga manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat, tanpa ada campur tangan investor asing yang hanya mengambil keuntungan semata.

Ditemui selepas bincang santai, Direktur Walhi Bali, I Made Juli Untung Pratama atau biasa dipanggil Topan menyimpulkan bahwa acara bincang ini ingin menunjukkan kepada publik bahwa ada model – model pengelolaan pariwisata yang berhasil oleh Desa adat dan menjaga lingkungan tetap lestari. Disamping itu, hal ini adalah kritik terhadap industri pariwisata massal yang ada di Bali. Industri pariwisata tersebut selain menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup, secara tidak langsung juga brdampak pada masyarakat.

Dia juga menanggapi pernyataan Bendesa adat mengenai reklamasi Teluk Benoa.

“Tadi sudah ada statement dari Bendesa adat mengenai reklamasi Teluk Benoa, kita tau sendiri statement dari bendesa adat, secara prinsip Bendesa adat menolak pembangunan Teluk Benoa, artinya tidak perlu pembangunan yang destruktif seperti rencana Teluk Benoa itu, sudah ditolak oleh bendesa adat,” tambah Topan. (DI)

 

Editor : N. Arditya