MENARAnews, Pekanbaru (Riau) – Provinsi Riau termasuk Provinsi yang masih mendapat perhatian KPK dalam pemberantasan Korupsi. Dalam laporan hasil survei penilaian integritas di 15 Pemerintah provinsi yang dikeluarkan oleh Deputi Pencegahan KPK untuk tahun 2016 – 2017, Riau masuk 10 besar. Salah satu dari item penilaian, Riau menempati peringkat pertama terkait pemalsuan anggaran perjalanan dinas. Hal ini disampaikan Suryadi selaku moderator dalam Diskusi yang diselenggarakan oleh Senarai dengan mengangkat topik Implementasi Renaksi Pencegahan Korupsi Di Riau (29/11/2018).
Jonda JM perwakilan dari Inspektorat Prov. Riau menyampaikan bahwa di dalam Pemerintahan Prov. Riau, inspektorat diharapkan dapat melakukan tindakan pencegahan untuk korupsi melalui fungsi kontrol yang dimiliki oleh inspektorat, sehingga ikut dan melihat proses pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh satker atau OPD yang ada dan hal ini berbeda dengan waktu dahulu dimana inspktorat terlibat setelah pelaksanaan kegiatan.
Dia menyampaikan bahwa dalam kajian yang dilakukan KPK, ada 8 – 10 sektor yang menjadi persoalan korupsi diantaranya perencanaan penganggaran, penyediaan barang dan jasa, manajemen SDM, pelayanan terpadu, pengelolaan pendapatan yang ini menjadi fokus awal Korsupgah (Koordinasi supervisi dan pencegahan) korupsi di tahun 2016 dan 2017.
“KPK coba mengkaji bersama – sama, ada kurang lebih 8 sampai 10 sektor yang memang menjadi persoalan korupsi, tadi moderator menyampaikan perencanaan penganggaran, penyediaan barang dan jasa, bicara manusiannya, pelayanan terpadu, kemudian bicara pengelolaan pendapatan itu sendiri, itu fokus diawal di (tahun) 2016 dan 2017,” ungkapnya.
Dia memaparkan juga bahwa pada tahun 2017, data KPK terkait capaian tindak lanjut Korsupgah Korupsi untuk Pemerintahan di Provinsi Riau yakni rata – rata capaiannya 78%. Urutan pertama Pemkab Kampar 96%, kemudian Pelalawan 94%, Pemkab Siak 89%, Bengkalis 83% dan Pemprov Riau berada di posisi ke delapan dengan capaian 75%.
“Untuk capaian korsupgah yang sudah dikeluarkan oleh KPK untuk (tahun) 2017, rata – rata seluruh kabupaten kota plus Propinsi Riau capaian kita 78%, ini data yang dirilis KPK. Paling tinggi itu oleh Pemkab Kampar, tindak lanjut terkait renaksi Korsupgah sampai 96%, kedua ada Pelalawan 94%, Siak 89%, Bengkalis 83%, Kota Pekanbaru 83%, Propinsi Riau sendiri berada di posisi ke delapan sebanyak 75%,” paparnya.
Dia menyebutkan bahwa untuk tahun 2018 dan 2019 adalah untuk pemantapan dari proses ditahun sebelumnya dan melanjutkan kembali sesuai dengan rencana aksi yang telah dibuat seperti proses perencanaan penganggaran yang terintegrasi dan adanya pengembangan dari 10 aspek sebelumnya menjadi 16 aspek yang lebih spesifik lagi.
“(tahun) 2018 dan 2019 ini boleh dikatakan bicara teorinya, teori pematangan, sudah dibentuk, sudah didesain beberapa terkait aspek tadi. Kemudian 2018 tinggal menjalankan kembali sesuatu yang berulang kembali. Kita ingin perencanaan penganggaran itu sudah betul – betul terintegrasi, jangan lagi ada cerita di (tahun) 2018 desain rencana penganggaran itu tidak terintegrasi, sehingga (tahun) 2018, 2019 ini ada 16 aspek. Sebenarnya 16 aspek ini pengembangan dari 10 aspek tadi, yang dikembangkan contoh pada yang lama itu bicara tentang tata ruang dan SDA, sekarang lebih spesifik, pertambangan sendiri, perkebunan sendiri, kehutanan sendiri, kelautan, perikanan sendiri,” bebernya.
Dia menilai bahwa pelaksanaan Korsupgah dari tahun 2016 hingga 2018 semakin siap dan mampu untuk dilaksanakan oleh OPD dan berharap melalui Korsupgah ini dapat mengawal hal – hal atau kegiatan pekerjaan yang dilakukan pemerintah sehingga dapat mencegah korupsi.
“Intinya apa, bahwa pelaksanaan korsupgah hari ini mulai dari (tahun) 2016, 2017, 2018 semakin lama, boleh dikatakan semakin matang untuk dilaksanakn oleh OPD, artinya harapannya ada korsupgah ini untuk mengawal apa yang dilakukan pemerintah, prinsipnya itu,” ucapnya.
Sementara itu, Made Ali selaku Koordinator Jikalahari mengungkapkan bahwa dalam rencana aksi program pemberantasan terintegrasi yang dibuat oleh Pemrov Riau tidak memberikan ruang bagi masyarakat atau publik untuk berpartisipasi memberikan masukan bagi rencana program tersebut. Padahal kasus – kasus korupsi seperti kehutanan dapat terungkap karena adanya peran dari publik.
“(tahun) 2018 muncullah keputusan gubernur 10 mei 2018, tentang rencana aksi program pemberantasan terintegrasi. Cuma kritikan saya adalah, lagi – lagi seluruh isinya publik sama sekali tidak dilibatkan, ini kelemahan utama. Padahal dulu kasus korupsi kehutanan muncul itu, karena publik melaporkan ke penegak hukum,” uangkapnya.
Dia juga menyampaikan bahwa Korsupgah yang dilakukan oleh KPK masih terdapat kelemahan yakni masih terkesan eksklusif dan tidak memberikan ruang yang luas bagi CSO (Civil Society Organization) untuk ikut berpartisipasi dalam korsupgah tersebut, sehingga KPK mendapat masukan dari tataran masyarakat.
“Kelemahan KPK itu, yang paling besar adalah korsupgah yang mereka lakukan itu juga ekslusif, dia (KPK) datang ke Riau, berkantor di Riau, kalau pun dia membuka ruang dengan teman – teman CSO, itupun hanya segelintir CSO. Tapi tidak membuka ruang selebar-lebarnya pada CSO yang lain. Harusnya kan di Riau ini sudah darurat korupsi, harusnya dia (KPK) meminta masukan itu dari bawah, bukan oleh para elit – elit ini yang menentukan termasuk di KPKnya, korsupgah KPKnya, dia yang menentukan ini harus melakukan apa dan seterusnya. Lagi – lagi ruang publik tidak ada,” jelasnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa adanya kekeliruan dalam rencana aksi pencegahan korupsi seperti kebijakan terkait sektor kehutanan dan perkebunan yakni adanya revisi terhadap SK peruntukan dan perubahan kawasan hutan yang dilakukan sesudah adanya Perda RTRW yang seharusnya dilakukan sebelum pengesahan Perda RTRW, sehingga jika ada perubahan peruntukan kawasan hutan perlu merubah Perdanya dan akan memakan waktu yang cukup lama dan hal ini juga menurutnya menjadi kelemahan KPK.
“Dulu di (tahun) 2015, itukan sudah ada rencana aksi, 19 rencana aksi gubernur dan KPK, itu harus melakukan 19 rencana aksi di (tahun) 2015, 1 pun tidak ada dikerjakan oleh pak gubernur, waktu iitu pak Andi Rahman, 1 pun tidak ada dikerjakan, lalu datang lagi KPK bikin rencana aksi. Rencana aksi ini, yang sumber kehutanan dan perkebunan, misal salah satunya, melakukan revisi terhadap SK peruntukan dan perubahan kawasan hutan, harusnya ini dilakukan sebelum RTRW itu dipegang. Nah sekarang kalau mau berubah, perubahan peruntukan kawasan hutan harus merubah Perdanya, itu makin panjang prosesnya. Harusnya ini dilakukan sebelum perda RTRWP itu dijadikan Perda, nah ini satu kelemahan KPK,” ungkapnya.
Dia juga menyebutkan bahwa masyarakat belum bisa mendapat informasi dengan jelas tentang progres dan deskripsi dari capaian tindak lanjut Korsupgah yang telah dicapai oleh Pemerintahan di Provinsi Riau sesuai dengan data yang dirilis KPK.
“Jikalahari mencoba mentracking dari sisi informasi publik, gak ketemu. Dari bulan Mei 2018, jalan 7 bulan, apa progresnya, tidak tahu kita apa progresnya, yang 78% tadi, 84%, Kampar terbaik, itu apa gitu, gak paham kita, narasinya apa critanya apa, apanya yang sudah berhasil, sama sekali gelap, ruang – ruang gelap ini diciptakan oleh KPK dan pemerintah daerah sendiri,” bebernya.
Selain itu, Triono Hadi sebagai Koordinator Fitra Riau juga menambahkan bahwa seperti dalam aspek perencanaan penganggaranan, ruang publik masih terbatas. Keterlibatan publik masih dalam cakupan Musrenbang. Padahal penting adanya publikasi dari mulai perencanaan penganggaran hingga ke proses kontrak kerja agar masyarakat dapat berperan dalam memantau proses pengadaan barang dan jasa yang direncanakan.
Kemudian Ahlul Fadli selaku Koordinator Senarai menyebutkan bahwa sangat disayangkan masih cukup banyaknya ASN di Provinsi Riau yang tersandung kasus korupsi yakni sebanyak 160 orang dan data ini dikeluarkan oleh Badan Kepegawaian Negara. Sehingga zona integritas yang telah dibuat seperti tidak diaplikasikan di dalam diri para ASN tersebut, padahal ASN tersebut sudah didukung dengan kesejahteraan yang baik untuk dapat bekerja dengan lebih baik.
“Kasus terbaru (tahun) 2018 itu adalah Badan Kepegawaian Negara itu merilis Riau itu provinsi ke 4 yang ASNnya aktif tapi tersandung kasus korupsi, sekitar 160 ASN di Propinsi Riau. Nah ini juga terkait lagi dengan zona integritas, program yang telah diluncurkan itu tidak melekat didirinya, mungkin bisa dibilang mentalnya kawan – kawan ASN itu bagaimana, karena sudah dikasi asupan gizi yang bagus, pengennya kan lebih baik bekerjanya, ternyata muncul laporan itu,” ucapnya.
Dia menambahkan bahwa masih adanya kendala transparansi dalam mendapatkan data terkait 160 ASN tersebut dan masih belum jelas proses penindakan hukum terhadap ASN – ASN yang tersandung kasus korupsi tersebut.
Dia juga menyampaikan bahwa berdasarkan laporan KPK pada tahun 2017 terkait integritas di bagian gratifikasi, laporan tersebut menunjukkan bahwa 1 dari 10 ASN itu pernah mendengar dan melihat praktek gratifikasi di tempat dia bekerja dan Riau menduduki peringkat ke 6 dengan persentase 11%.
“Laporan KPK terkait integritas ASN juga menjelaskan yang bagian gratifikasi itu, 1 dari 10 ASN itu pernah mendengar dan melihat praktek gratifikasi di tempat dia bekerja gitu, dia mengetahui. Itu persentasenya dari 10 propinsi itu, Riau peringkat 6, 11%, tahun 2017,” ungkapnya. (SZ)