MENARAnews, Denpasar (Bali) – Bertempat di Kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Provinsi Bali, Jalan Cok Agung Tresna, Renon, Denpasar berlangsung kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dalam rangka Inventarisasi Materi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hak Atas Tanah Adat, Kamis (23/11/2017).
Anggota DPD RI Gede Pasek Suardika mengatakan bahwa maraknya kasus sengketa lahan adat, maka DPD memutuskan agar dibuat sebuah UU yang mengatur masalah hukum tanah adat. “Oleh karena itu, naskah akademik dan rancangan UU dipercepat, padahal semestinya perlu dilakukan diskusi terlebih dahulu kemudian terbit naskah akademik lalu muncul rancangan UU, namun mengingat situasinya maka hal tersebut dibalik,” ujarnya.
Pihaknya menambahkan, nantinya setelah beberapa diskusi dilakukan kemudian akan diterbitkan naskah akademik yang resmi untuk memperkuat naskah akademik yang saat ini sudah ada. Diharapkan RUU ini kedepannya dapat memberikan ruang perlindungan hak hak adat. Jadi jika terjadi sengketa tanah adat UU ini dapat dijadikan acuan bukan lagi mengacu pada Keputusan Menteri.
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bali, Jaya menyampaikan bahwa Pemerintah saat ini memiliki target untuk memetakan bidang tanah di Indonesia selesai pada 2025, namun pendaftaran tanah yang dilakukan sejak tahun 2016 hingga saat ini baru mencapai 47 persen.
Pentingnya pemetaan tersebut karena banyak sekali yang menginginkan peta tunggal Indonesia dalam rangka kepastian pembuatan tata ruang. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia (RI) menargetkan penerbitan sertifikat dari 500 ribu menjadi 5 juta, 7 juta, 9 juta dan seterusnya. Sehingga 2025 seluruh bidang tanah di Indonesia telah terdaftar.
“Untuk di Bali sisa tanah dari total 1,8 juta, sudah terdaftar 1, 2 juta, dan di tahun ini ditargetkan 217 ribu bidang, maka sisanya yakni sekitar 400 ribu bidang pada 2019 seluruh bidang tanah di Bali lengkap dan menjadi Provinsi pertama yang lengkap. Oleh karena itu, dalam rangka menyelesaikan target tersebut, maka BPN telah menggandeng Pemerintah Daerah, sampai ke tingkat desa,” paparnya.
Terdapat dua proses yang dilakukan untuk menerbitkan sertifikat tanah, yaitu proses Pengumpulan Data Yuridis (Puldasris) dan Pengumpulan Data Fisik (Puldasik). Setelah proses tersebut dilakukan maka akan diterbitkan sertifikat. Kemudian perlu diketahui bahwa ada tiga status tanah, yaitu K1 bidang tanah tanpa masalah artinya subyek dan obyek tanah jelas. K2 ketika subyek ada permasalahan, dan K3 objeknya jelas, tetapi subyeknya tidak jelas sebagaimana permasalahan yang ada pada desa pakraman.
Sementara itu, Kakanwil BPN Gianyar, I Made Rai menerangkan kalau melihat ketentuan dasar semua tanah di Indonesia adalah milik negara, namun salah satu pengelolaan bisa dilimpahkan kepada masyarakat adat. “Artinya sebenarnya pengelolaan tanah bisa diberikan kepada masyarakat adat untuk mengelola tanah adat,” tambahnya.
I Made Rai juga menjelaskan, perlu diketahui bersama bahwa karakter tanah di Bali khususnya tanah adat komunal hampir semua sudah diatur misalnya seperti kuburan sudah ditunjuk oleh pemerintah dan sejak tahun 1986 sudah bisa disertifikatkan. Selain itu, pengaturan tanah adat khususnya Desa Pakraman secara De Jure memang dikuasai pakraman, tapi De Facto dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat sehingga munculah penunjukan Desa Pakraman sebagai subyek hak kepemilikan bersama. (NN)
Editor : N. Arditya