MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Pasal-pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) setidaknya dapat dievaluasi dan dibahas ulang. Karena akan dapat menghambat pewujudan masyarakat yang berkualitas serta sehat di Bali, itu disampaikan, Direktur Daerah PKBI Bali, I Komang Sutrisna, Selasa,(13/8) di Denpasar.
“Pasal-pasal bermasalah tersebut tentunya akan bisa enimbulkan kriminalisasi pada upaya promosi alat kontrasepsi, kriminalisasi penghentian kehamilan, penggelandangan, setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan, dan hukum yang hidup di masyarakat,” katanya.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, pertama, kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi. Dalam RKUHP, terdapat pembatasan penyiaran tulisan yang menawarkan atau mempertunjukkan alat kontrasepsi yang hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang atau melalui penunjukkan oleh pejabat yang berwenang.
“ini berpotensi akan mengkriminalisasi petugas pemberi informasi di atas yang diantaranya dari petugas KB, pemuka agama, kader PKK dan guru, bahkan media yang mempromosikan atau memberikan informasi terhadap kontrasepsi, serta meningkatkan angka kesenjangan individu yang tidak terpajan informasi KB,” ucapnya.
Selanjutnya, kedua, kriminalisasi terhadap setiap perempuan yang melakukan penghentian kehamilan meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan. Hal ini jelas akan menyederhanakan kompleksitas kondisi perempuan KTD. RKUHP malah akan semakin menempatkan perempuan dalam kondisi yang kian menyulitkan dan bahkan membahayakan, Ketiga, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Dalam RKUHP, terjadi perluasan kriminalisasi yang menyasar pada persetubuhan di luar perkawinan dengan ancaman dua tahun pidana penjara. Hal ini bisa berdampak pada timbulnya kecurigaan masyarat dan kesewenang-wenangan aparat yang berpengaruh pada semakin suburnya persekusi, Keempat, kriminalisasi terhadap orang yang bergelandangan di tempat umum. RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (satu juta rupiah). Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi overkriminalisasi terhadap bentuk pekerjaan baru dan anak yang terlantar, hal terakhir atau kelima, hukum yang berlaku di masyarakat. RKUHP mencoba mengakomodir hukum-hukum adat di Indonesia melalui pasal mengenai hukum yang berlaku di masyarakat. Namun frasa ‘hukum yang berlaku di masyarakat’ bersifat multitafsir. Dalam tafsirnya sekarang, pasal ini berpotensi digunakan oleh oknum-oknum daerah untuk melanggengkan sikap-sikap diskriminatif dan penghukuman yang tidak manusiawi.
“Mencermati pasal-pasal yang bermasalah dan dampaknya bagi warga negara, maka Aliansi Reformasi KUHP Bali mendorong Pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan ulang rencana pengesahan RKUHP. Karena hal ini secara nyata akan menimbulkan banyak masalah baru di masyarakat,” tutupnya.(DI)
Editor: N. Arditya