MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Pasca penolakan Gubernur Bali untuk memberikan salinan surat yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo mengenai revisi Perpres Nomor 51 Tahun 2014, tanggal 31 Desember 2018, Walhi Bali telah mengirimkan surat nomor 16/ED/WALHI-BALI/XII/2018 tertanggal 28 Desember 2018 kepada Gubernur Bali.
Atas surat tersebut, Gubernur telah memberikan jawaban melalui surat Nomor 027/411/Sekret, perihal permohonan informasi publik tertanggal 14 Januari 2019, dan diterima oleh Walhi pada 15 Januari 2019 yang intinya bahwa Gubernur Bali menolak untuk memberikan salinan surat yang diberikan kepada Presiden Joko Widodo pada 28 Desember 2019, terkait dengan usulan untuk merevisi Perpres Nomor 51 Tahun 2014 khususnya yang berkaitan dengan perairan Teluk Benoa.
Penolakan tersebut tentu didasari atas beberapa alasan salah satunya Surat Gubernur Bali yang disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia, sifatnya ketat dan terbatas, yaitu ditujukan hanya kepada Presiden Republik Indonesia bukan kepada masyarakat luas (Pasal 2 ayat 2).
Selain itu, apabila surat Gubernur Bali tersebut dibuka secara umum pada saat ini, maka akan sangat berpengaruh terhadap proses negosiasi lebih lanjut, karena informasi tersebut belum final, sehingga akan mempengaruhi kepentingan yang lebih besar, karena Gubernur Bali tetap berkomitmen untuk menolak reklamasi seperti yang tertuang dalam pasal 2 ayat 4.
Surat tersebut juga jelas menunjukkan kedudukan selaku eksekutif dengan demikian Gubernur merupakan bawahan dari Presiden, sehingga posisinya selaku hubungan antar badan publik atau intra badan publik. Terlebih lagi surat yang diajukan juga tidak disertai alasan-alasan yang jelas terkait dengan permohonannya, sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 4 Ayat 3.
Sementara itu, menurut Walhi bahwa Gubernur Bali telah salah dalam menafsirkan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi (UU KIP) yang menyatakan bahwa Informasi publik ketat dan terbatas. “Apabila dibaca dengan seksama yang dimaksud ketat dan terbatas adalah bahwa surat yang Gubernur kirimkan kepada Presiden bukan sifatnya ketat dan terbatas melainkan harus dimaknai bahwa Gubernur Bali tidak dapat semena-mena menyatakan suatu informasi publik sebagai suatu informasi yang dikecualikan, karena untuk menyatakan suatu informasi tersebut sebagai informasi yang dikecualikan maka harus melalui uji konsekuensi dan uji publik”, jelas Direktur Walhi Bali, I Made Juli Untung Pratama.
Lebih lanjut, ia membantah bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan konsekuensi yang timbul adalah konsekuensi yang membahayakan kepentingan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang ini apabila suatu informasi dibuka. “Suatu informasi yang dikategorikan terbuka atau tertutup harus didasarkan pada kepentingan publik. Jika kepentingan publik lebih besar dapat dilindungi dengan menutup suatu informasi, informasi tersebut harus dirahasiakan atau ditutup dan/atau sebaliknya”, tegasnya.
“Alasan kami meminta salinan surat tersebut sudah jelas, dan tujuannya pun sudah jelas yakni agar kami dapat membaca serta mengetahui secara langsung isi surat tersebut sehingga kami dapat percaya bahwa Gubernur Bali memang serius menolak reklamasi teluk benoa, atas hal tersebut sudah seharusnya Gubernur Bali Wayan Koster memberikan salinan surat usulan revisi Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang dia kirimkan kepada Presiden Joko Widodo kepada kami”, ujarnya.
Atas surat keberatan dari WALHI Bali tersebut, Gubernur Bali I Wayan Koster mempunyai waktu 30 (tiga puluh) hari kerja untuk menjawab apakah akan memberikan salinan surat yang diminta oleh WALHI Bali ataukah kembali tidak memberikan salinan surat tersebut. (NN)
Editor: N. Arditya