Kualatanjung Gerbang Ekonomi Indonesia di Sumut

Menaranews, Medan (Sumut) – Dibangunnya pelabuhan multipurpose Kualatanjung di Kabupaten Batubara, Provinsi Sumatera Utara menerbitkan prospek cerah di bidang ekonomi baik bagi masyarakat sekitar pelabuhan itu maupun Pemkab Batubara, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dan Indonesia.

Sejak peletakan batu pertama (groundbreaking) pada 27 Januari 2015, Pelabuhan Kualatanjung digadang-gadang menjadi industrial gateway port sekaligus gerbang ekonomi Sumut selain Belawan dan Sibolga.

Meskipun kapasitas Pelabuhan Kualatanjung ditargetkan hanya menyerap 500.000 twenty foot equivalent units (teus) peti kemas, namun kehadirannya menjadi alternatif transit kapal-kapal asing di jalur pelayaran tersibuk dunia Selat Malaka sekaligus pintu gerbang ekspor-impor kapal-kapal asing ke Indonesia sebelum didistribusikan oleh kapal-kapal nasional ke penjuru tanah air.

Sebagai perbandingan, Pelabuhan Belawan mampu menyerap 1,3 juta teus dan saat ini tengah dalam proses dibangun menuju 2 juta teus.

Kemudian Tanjungpriok, Jakarta yang berkapasitas 7,5 juta teus dan juga tengah proses mengembangkan perluasan Kalibaru menjadi “The New Tanjungpriok” diproyeksikan mampu menyerap 15 juta teus. Pelabuhan lainnya adalah Tanjungperak, Surabaya berkapasitas 1 juta teus dan Sorong, Papua dengan kapasitas 600.000 teus dan diproyeksikan menjadi transit bisnis dari dan ke Papua Nugini, Australia dan Indonesia.

Bilapun digabung antara kapasitas Belawan dan Kualatanjung, totalnya hanya 2,5 juta teus. Padahal, potensi Selat Malaka merupakan 18% pergerakan kontainer dunia dengan meng-handling 47 juta teus. Kapasitas 2,5 juta teus Belawan dan Kualatanjung sebenarnya sangat kecil.

Terlebih bila dibandingkan dengan pelabuhan negara tetangga yang juga berada di seputar kesibukan Selat Malaka seperti pelabuhan Singapura dengan kapasitas 28,4 juta teus, Port Kelang dan Tanjung Pelepas, Malaysia yang masing-masing berkapasitas 8,8 juta teus dan 6,2 juta teus, serta Laem Chabang, Thailand 5,06 juta teus.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa potensi yang sedemikian besar belum dinikmati pelabuhan-pelabuhan di Indonesia khususnya yang berada di sekitar perairan Selat Malaka, lebih khususnya lagi Pelabuhan Belawan, Dumai, Kualatanjung dan lain-lain.

Meskipun terbilang kecil bila dibandingkan kapasitas pelabuhan-pelabuhan negara tetangga, setidaknya Pelabuhan Kualatanjung ikut menggali potensi ekonomi melalui pergerakan distribusi barang dan jasa via laut di seputar Selat Malaka, serta menjadi batu loncatan untuk pembangunan dan pengembangan pelabuhan-pelabuhan baru lainnya.

Sedangkan lokasi Pelabuhan Kualatanjung sangat strategis, berada 27 km dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mengkei. Bagi masyarakat Kabupaten Batubara, kehadiran Pelabuhan Kualatanjung menjadi pemicu gairah ekonomi daerah dan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah dari berbagai sektor seperti penyerapan tenaga kerja lokal, perhotelan, bisnis kuliner, pariwisata dan lain-lain.

Kehadiran Pelabuhan Kualatanjung dengan pelayanan modern, efisien dan biaya kompetitif juga akan lebih tepat bila diproyeksikan menjadi pelabuhan pengumpul (hub port/dedicated terminal) dengan kapasitas lebih besar dari 500 ribu teus sebagaimana yang telah ditargetkan. Peran sebagai pelabuhan pengumpul, Pelabuhan Kualatanjung lebih tepat menggeser dominasi Pelabuhan Singapura di mana selama ini kontainer/peti kemas ekspor-impor Indonesia kerap transit terlebih dahulu di sana.

Sangat disayangkan bila pelabuhan-pelabuhan besar Indonesia hanya menjadi pelabuhan pengumpan (feeder) untuk Singapura.

Terlebih untuk distribusi peti kemas dari pusat-pusat industri dalam negeri di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua menuju Eropa, Timur Tengah dan Asia Selatan yang melewati Selat Malaka, Kualatanjung bisa menggantikan posisi Singapura yang selama ini menjadi pelabuhan global hub port dan transhipment (perpindahan kapal) yang memaksa kapal-kapal asal Indonesia membayar ongkos mahal.

Pelabuhan Kualatanjung juga menjadi captive market dengan memaksimalkan kawasan industri yang akan dibangun dan beroperasi di sekitar kawasan pelabuhan itu.

Faktor lain, kurang diminatinya pelabuhan-pelabuhan Indonesia oleh kapal-kapal cargo raksasa asing karena dinggap pelabuhan kecil dan kurang memadai, sehingga tidak heran kapal-kapal tersebut singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Singapura dan Malaysia. Rata-rata ukuran dan bobot barang yang dimuat per kapal di Singapura dan Malaysia antara 15.000 teus hingga 18.000 teus.

Sementara pelabuhan di Indonesia rata-rata tidak bisa menampung kapal berukuran sebesar itu. Pelabuhan Belawan saja yang posisinya sangat strategis di tepi Selat Malaka paling kuat hanya mampu disinggahi kapal berukuran 7.000 teus. Bahkan Pelabuhan Tanjungpriok, selaku pelabuhan terbesar di Indonesia, hanya mampu menampung kapal dengan bobot maksimal 6.000 teus.

Bagaimana bisa menjadi pelabuhan internasional dengan kapasitas di atas lima juta teus atau menyamai Singapura 28 juta teus, jika kapal yang bisa merapat ke pelabuhan hanya berbobot di bawah 6.000 teus?

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang bertekad membangun poros maritim dunia, sekaligus menjadi pemain global industri pelayaran. Ke depan, tidak sekadar membangun pelabuhan plus kawasan industrinya, tetapi juga menyiapkan SDM andal, kapasitas pelabuhan yang bisa menampung kapal berukuran di atas 18.000 teus, berbiaya kompetitif dan menjadi jasa pelayanan pelayaran dan bongkar muat cargo, serta peti kemas yang menguntungkan perusahaan global.

Jika sudah seperti itu, Indonesia sebagai negara maritim betul-betul sesuai namanya jago laut, jago pelabuhan dan menjadi pelabuhan nomor satu dunia mengalahkan Singapura dan Malaysia. Semua itu dimulai dari Kualatanjung, sebagai gerbang ekonomi Indonesia di Sumut.

(Oleh: Suadi) Penulis alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara