MENARAnews, Semarang (Jateng) – Tanggal 1 Mei, May Day, hari Lebaran Kaum buruh, merupakan momentum penting untuk memperingati perlawanan kelas pekerja terhadap kesewenangan pemodal. Untuk itu, propaganda negatif yang belakangan coba digencarkan pemerintah melalui slogan “May Day is Fun Day” adalah upaya penjinakan dan membuat buruh menjadi ahistoris, tidak mengenal sejarahnya. Negara gagal mencerdaskan buruh sebagai warganya demi kepentingan investasi.
Anggota LBH Semarang Rizky Putra Edry menjelaskan, setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru pada 1998 dan mulainya babak baru kehidupan bernegara yang dikenal sebagai reformasi, perbaikan kondisi kehidupan belum menunjukkan dampak yang signifikan. Bahkan, belakangan, kebebasan sipil sebagai salah satu tuntutan reformasi semakin mengalami kemunduran. Sementara itu, di bidang kesejahteraan, negara masih lalai dalam membentuk sebuah sistem yang efektif untuk melindungi buruh dari penghisapan pemodal.
Lanjut Rizky, setelah pemberlakuan paket undang-undang perburuhan pasca reformasi (UU Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) pemenuhan hak-hak (normatif) buruh tampak masih jauh dari angan. Aturan-aturan yang ada masih kerap dilanggar maupun dibiarkan terlanggar melalui perselingkuhaan negara dan modal. Meskipun terdapat norma-norma yang menjamin perlindungan terhadap pekerja dalam paket undang-undang tersebut, namun watak dari pemberlakuan norma diatas masih setia kepada kepentingan pasar internasional sebagaimana yang diinginkan oleh pihak yang mendorong pembentukannya: World Bank dan IMF.
“Pemberlakuan PP No 78 tentang Pengupahan merupakan bentuk paling kentara terhadap tindakan pemerintah yang tidak memihak buruh. Kebijakan upah minimum semakin jauh dari kebutuhan hidup layak karena tidak ada penghitungan riil dan bergantung kepada inflasi serta pertumbuhan ekonomi,” ungkap Rizky.
Menurut Rizky, kemudian, dalam konteks Jawa Tengah, sangat terlihat bagaimana politik upah murah dijadikan jalan untuk mengundang investasi. Benar bahwa semua warga negara butuh pekerjaan, namun standar HAM mengharuskan pengupahan yang layak.
Untuk itu, LBH Semarang menunut:
1. Cabut PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
2. Hentikan praktik politik upah murah di Jawa Tengah.
3. Hentikan praktek pasar tenaga kerja fleksibel.
4. Stop jam kerja yang panjang dan tidak manusiawi.
5. Penuhi hak-hak buruh perempuan.
6. Pengawas Ketenagakerjaan harus berperan aktif dalam penagakan hukum ketenagakerjaan.
7. Jalankan reforma agraria sejati.
8. Lakukan penegakan hukum terhadap industri perusak lingkungan.
9. Hentikan segala bentuk penggusuran dengan dalih apapun.
(Ar)