MENARAnews.com, Denpasar (Bali) – Asosiasi Pengusaha Valuta Asing (APVA) minta pemerintah (BI dan PPATK) untuk membuat database terintegrasi guna menghindari tindak pencucian uang (money laundering). Permintaan itu wajar mengingat saat ini pemerintah cukup ketat mengawasi kegiatan transaksional valas (money changer). Permintaan itu disampaikan Sekretaris APVA Bali Gede Ngurah Ambara Putra, S.H., yang juga Direktur Utama PT Dirgahayu Valuta Prima, di Denpasar, Selasa (3/10/2017).
Menurut Ambara Putra, pengawasan BI (PPATK) terhadap kegiatan transaksional valas bisa diterima dan didukung sepenuhnya anggota APVA yang berjumlah 147 perusahaan itu, namun database sebaiknya dibuat secara terintegrasi (terpusat).
“Selama ini masih manual. Jadi data-data dari pihak yang dicurigai atau diduga melakukan transaksi yang mencurigakan, belum bisa di update secepatnya karena terkendala data base yang belum terintegrasi itu,” ujarnya.
Pihaknya mengakui memang tidak tertutup kemungkinan perusahaan money changer menjadi wadah transaksi akhir setelah perbankan menolaknya. “Data secara manual akan menyulitkan kami dan pihak PPATK sendiri. Kita khawatir kecolongan. Sebaiknya dibuatkan sistem yang terintegrasi untuk database siapa-siapa yang dicurigai seperti daftar nama teroris, pelaku pencucian uang bahkan kejahatan lainnya seperti transkasi narkoba.
Ketua Yayasan TP 45 ini juga mengingatkan pemerintah untuk bertindak tegas terhadap perusahaan valas illegal yang masih banyak beraktivitas. “Mereka inilah yang dikhawatirkan bersedia menampung dan menjadi tempat penukaran dana-dana hasil transaksi ’hitam’ itu sementara kita yang legal susah payah mengantisipasinya,” sambung Ambara Putra.
BI sendiri (bersama PPATK) terus gencar melakukan sidak bahkan penertiban terhadap perusahaan valas illegal. Bila ketahuan maka kegiatan operasionalnya bakal dicabut atau ditutup. Tujuannya untuk menghindari terjadinya transaksi penukaran valas dari tindak pencucian uang, nartkoba bahkan dana teroris.
Disinggung tentang adakah pengaruh usaha valas dengan sistem pembayaran uang elektronik (Unik), Ambara Putra mengaku tak terlalu berpengaruh. Bagaimanapun gencarnya pemberlakuan penggunaan Unik ini di masyarakat, pihaknya yakin uang kartal masih sangat diperlukan.
“Sistem pembayaran secara eklektronik tentu juga ada kendalanya. Di saat sistem itu macet atau ada kendala maka uang kartal akan dibutuhkan. Jadi saya kira belum ada pengaruhnya terhadap perusahaan valas khususnya di Bali,” terangnya. Apalagi, sambung Ambara Putra, Indonesai adalah negara berkembang yang untuk menuju pembayaran dengan sistem Unik ini masih membutuhkan waktu relatif lama. (NN)
Editor : N. Arditya