MENARAnews, Banda Aceh (Aceh) – Dalam rangka peringatan 11 tahun Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki atau perjanjian damai Pemerintah Indonesia dengan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pakar hukum ketatanegaraan, Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc mengatakan, Aceh mempunyai posisi yang sangat ideal dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UU PA). Hal tersebut dijelaskan Yusril Ihza Mahendra dalam acara seminar di Gedung Serba Guna UIN Ar-Raniry, Banda Aceh.
Posisi ideal yang dimaksudkan oleh pakar hukum ketatanegaraan ini adalah kekhususan-kekhususan yang menjadi kelebihan bagi daerah Aceh di dalam wadah Negara Indonesia, jika dibandingkan dengan daerah lain.
“Kompromi yang diberikan itu luar biasa, jadi jangan sia-siakan kesempatan yang baik,” ujar Yusril.
Sebagai salah satu perancang UU PA, Yusril menjelaskan, setahun setelah penandatanganan MoU Helsinki, lahirlah UU PA yang menjadi titik kompromi luar biasa bagi Pemerintah Pusat dan Aceh. UU PA merupakan salah satu perwujudan kesepakatan damai yang memuat harapan-harapan dari ulama Aceh dan elemen masyarakat Aceh umumnya.
Pada masa Presiden Gus Dur, upaya perundingan dengan GAM dilakukan dengan disertai penawaran segala hal yang diinginkan pihak GAM.
“Aceh boleh meminta semuanya, asalkan satu, Aceh tidak boleh minta merdeka,” ucap Yusril menirukan perkataan Presiden Gus Dur.
Perundingan-perundingan tersebut, tambah Yusril, menghasilkan kesepakatan bahwa Aceh akan tetap menjadi bagian dari Negara Indonesia dengan segala kekhususan yang diperoleh. Salah satu contohnya adalah Pemerintah Indonesia telah membuka kesempatan kepada Aceh untuk menerapkan kaidah syariat Islam, tanpa mendapatkan campur tangan dari pemerintah pusat.
Di sisi lain, berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada 2017, Yusril mengatakan, siapapun yang akan menjadi pemimpin ke depan, diharapkan bisa konsisten terhadap tujuan-tujuan yang tercantum dalam UU PA. Dengan mengimplementasikan UU PA, Yusril meyakini pemimpin Aceh akan mampu meningkatkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
“Persoalan menyelesaikan konflik Aceh meskipun susah payah dapat dilakukan, namun hal yang terberat adalah menyejahterakan masyarakat Aceh setelah konflik,” tambahnya. (AM)