MENARAnews, Palangka Raya (Kalteng) – Proyek pembangunan peron terminal maupun perluasan Bandara Tjilik Riwut Kota Palangka Raya yang telah dimulai sejak bulan Oktober 2014 dengan target selesai di tahun 2017. Kini terus menjalani babak baru, terlebih berkaitan denganĀ pembebasan lahan masyarakat, karena sedikitnya ada 40 rumah yang berdiri di tanah bandara tersebut. Dalam perkembangannya warga pun menuntut keadilan terutama berkaitan dengan ganti rugi, termasuk dari pihak Pemerintah Kota Palangka Raya.
Menyikapi hal tersebut, Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKAD) Kota Palangka Raya, Akhmad Fordiansyah, tidak menepis bila persoalan akan ganti rugi lahan warga sempat sudah mengemukannya sejak rencana pembangunan perluasan Bandara Tjilik Riwut, sampai dengan berlangsungnya pembangunan bandara. Hanya saja kata Fordi, seiring lamanya waktu, hal tersebut sempat tidak terdengar lagi keberlanjutannya.
“Kami tidak pernah lagi diajak untuk rapat. Dulunya, pertemuan pembahasan akan lahan bandara dilakukan berulang kali. Bahkan ketika itu camat dan lurah pernah diminta untuk mendata yang tinggal di lokasi bandara. Namun bukan berarti ada kejelasan tentang ganti rugi ataupun pergantianĀ lahan sekalipun,āungkap Fordiansyah, Selasa (29/6/2016) di Palangka Raya.
Dijelaskan dia, semestinya pembangunan Bandara Tjilik Riwut yang bersumber dana dari pusat, tidak mengenal istilah ganti rugi. TerlebihĀ pihak bandara telah menyatakan tanah seluas 388,29 hektar didapat dari hibah Pemerintah Provinsi tahun 1979 dan disertifikatkan di tahun 1986. Terlebih lagi ada keputusanĀ Mahkamag Agung (MA) yang menyatakan keberadaan tanah menjadi hak milik pihak bandara.
āMemang selama ini, selalu muncul dilema, manakala ada proyek pembangunan yang dibiayai anggaran negara di suatu daerah, termasuk di Palangka Raya, sebab selama ini anggaran pusat hanya untuk pembangunan saja, sementara untuk menyediakan lahan atau tanah menjadi kewajiban daerah. Persoalannya sekarang, tanah yang menjadi obyek pembangunan kerap terbentur dengan berdirinya rumah warga,āujar.
Yang disayangkan kata dia, masih saja ada warga yang mengantongi sertifikat kepemilikan tanah. Padahal tanah tersebut notabene miliki pemerintah.
āNah, persoalan ini kerap menjadi benturan. Namun demikian masyarakat yang tinggal di daerah bandara tentu juga tidak bisa mengelak terhadap pembangunan maupun perluasanĀ bandara tersebut,ātukas.
Namun, begitu tambah dia, selama ini pemerintah kota juga tetap turutĀ mencari jalan keluar dengan tujuan warga tidak dirugikan. Disisi lain juga jangan sampai memberatkan keuangan daerah, termasuk menganggu pembangunan bandara yang telah berjalan.
āIni semua demi kemajuan Kota Palangka Raya pada khususnya dan Kalteng pada umumnya,āpungkas Fordiansyah.(Agus Fataroni)
Editor : Raudhatul N.
{loadposition media-right}