MENARAnews, Palangka Raya (Kalteng) – Kasus kriminalitas yang terjadi akhir-akhir ini terutama pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak maupun perempuan cendrung mengalami peningkatan. bagaimana sisi pandangan dari sejumlah kalangan masyarakat tetang adanya hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan sexsual terhadap anak?
Sejumlah media nasional, termasuk MENARAnews telah menginformasikan, Persiden RI Joko Widodo telah menandatangai Peraturan Pemerintah Pengangi Undang-Undang (Perpu) No.1 tahun 2016 perubahan kedua atas Undang-Undang 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Dalam isi petikan Perpu yang sudah ditandatangi tersebut membuat pemberatan dan penambahan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. Mulai dari memberikan sanksi pidana penjara minimal 10 tahun, dan paling maksimal 20 tahun penjara, hukuman seumur hidup bahkan sampai hukuman mati. Ada juga penambahan pidana seperti kebiri kimiawi, pencantuman nama ke publik, bahkan pemasangan alat deteksi elektronik.
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) DPP Nasional, Ust. H. Ismail Yusanto, menjelaskan jika berbicara tentang kekerasan tentu tidak hanya satu, yakni ada yang dinamakan kekerasan secara verbal, kekerasan seksual, dan kekerasan non seksual.
“Perpu tentang kebiri bagi pelaku kekerasan ini baru mengatasi kekerasan terhadap seksual, sementra kekerasan secara non seksual belum bisa diatasi. Kasus terhadap Eno yang terjadi Tanggerang beberapa hari yang lalu mengalami kekerasan seksual dan non seksual seperti mengakhiri hidupnya,” ujar Ismail diwawancarai MENARAnews Sabtu (28/05/2016) di Palangka Raya.
Dia menjelaskan, Indonesia sudah lebih kurang 70 tahun merdeka. Namun sampai dengan sekarang Indonesia belum mempunyai KUHP. KUHP yang digunakan sekarang ini 60-70 persen masih adaptasi KUHP dari warisan negara Belanda dan ini menurutnya, suatu hal yang sangat ironi.
Dipaparkannya kembali, dari satu sisi Indonesia sudah dikatakan merdeka dan dirayakan setiap 17 Agustus. tapi banyak yang belum merasakan dan disadari, selama ini masing menggunakan cara-cara Belanda atau penjajah dalam setiap menyelesaikan sebuah masalah yang terjadi, termasuk masalah kriminalitas.
“Apa contohnya, seperti pengertian di bawah umur, bagaimana mengartikan kriminal, dan bagaimana sanksi hukuman yang diberikan terhadap pelaku kriminal dan menurut saya adalah terbukti bahwa hukuman yang ada selama ini tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku, buktinya apa?, kalau memang bisa memberikan efek jera kepada pelaku, tentunya tingkat kriminalitas turun. tapi yang ada malah tingkat kriminalitas meningkat,” jelasnya lagi.
Dia menyampaikan lebih dalam, ada dua faktor yang menyebabkan tidak adanya fungsi mencegah atau hukuman efek jera terhadap pelaku. Pertama, pada bentuk hukuman yang diberikan masih belum jelas, dan kedua bagaimana cara menghukum yang menganut asas hukuman yang paling berat.
Dirinya menilai, selama ini hukuman yang diberikan terhadap pelaku masih belum kumulatif. jika kembali kepada hukum Islam, tentu hukuman yang diberikan sudah kumulatif dan bukan hukuman yang diambil paling berat seperti sekarang ini.
“Misalnya kalau kita ambil contoh lagi, dalam kasus pemerkosaan terhadap Eno, kalau menurut Islam pelaku dikenakan 5 sampai 6 kejahatan yang dilakukan dan harus diproses hukum. yang pertama masuk rumah tanpa izin pemilik rumah, menyakiti, pemperkosa, berzinah, mengambil HP milik korban dan membunuh. jadi ada enam yang dilakukan pelaku. dan ini semua sudah ada sanksi dalam Islam,” jelasnya kembali lebih dalam.
Sementara itu, tanggapan komonitas Nadhatul Ulama (NU) melalui Mantan Ketua NU Kalteng, Abdul Wahid mengatakan, sepanjang penerapan hukuman kebiri tersebut menghindari dari mudarat yang lebih besar, pihaknya setuju dan sepakat tentang penerapan hukuman Kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
“Kita mendukung, dalam arti tentunya menyesuaikan Undang-undang yang sudah ada, dan jika melakukanya adalah anak dibawah umur atau belum akhir balik, tentunya Pemerintah lebih tau secara teknisnya seperti apa. sehingga tidak melanggar ketentuan yang ada. kalau misalnya pelakunya dibawah umur,” ujar Wahit usai menghadiri pawai Ta’aruf di Bundaran Besar Kota Palangka Raya. (Arliandie)
Editor : Raudhatul N.
{loadposition media-right}
Â