MENARAnews, Jayapura (Papua) – EUPHORIA kemenangan pilpres belum usai. Gerakan “ayo kerja” yang di kumandangkan Jokowi sebagai Presiden pilihan rakyat terdengung pada semua program pemerintah. Tidak ada alasan untuk tidak bekerja selama kita masih bertenaga, jika nyawa masih di kandung badan maka bekerjalah.
Bekerja itu, ya bergerak, bukan nya stagnan di tempat karena bekerja adalah eksistensi setiap orang bahwa orang tersebut hadir, ini bentuk pengakuan sebagai fitrah kemanusiaan. Meniti ucapan terdahulu dalam kampanye politik, gerakan ayo kerja menjadi simbol keberadaan, dan keberadaan itulah yang akan terus di pertanyakan sebagai suatu janji untuk di tuntaskan.
Akhir-akhir ini pemerintahan Jokowi-JK di rongrong tagihan janji kampanye, hutang terbayar maka selesailah transaksi kita, kurang lebih demikian syarat jika kita menjalin akad dalam perjanjian. Saat ini rakyat Indonesia mulai bertanya dan membicarakan gerakan ini, berharap janji dahulu tidak dilupakan. Memang tidaklah mudah menepati janji-janji, hanya orang yang istiqomah yang mampu mewujudkan janji menjadi kenyataan.
Upaya dengan cara, model serta metode yang dilakukan untuk menjawab janji tentunya berbeda pada setiap daerah, tergantung kondisi daerah serta karakter persoalannya. Dalam kampanye politiknya pasangan Jokowi – JK memberikan harapan baru bagi rakyat Indonesia, demikian juga kepada masyarakat di ujung timur Indonesia. Papua menjadi wilayah prioritas oleh Jokowi sebagaimana yang di muat dalam pemberitaan media massa.
Blusukan Bapak Presiden beberapa kali ke Tanah Papua, dianggap sebagai bentuk keseriusannya membangun tanah ini, memang harus di akui itu sesuatu yang pretisius jika dibandingkan dengan presiden-presiden Indonesia sebelumnya. Selain itu dukungan pembangunan melalui kucuran dana untuk 5.118 kampung mulai tahun 2015, dimana wilayah ini menjadi propinsi yang mendapatkan dana tertinggi se-Indonesia, dengan nilai yang sangat fantastis 1,4 tiliun rupiah yang diambil dari dana APBN (Kompas, 15/12/ 2015).
Tol laut, Bandar Udara, jalur kereta api dan akses infrastruktur jalan sebagai penghubung wilayah yang menjadi program nasional yang juga penting di realisasikan. Persoalan lain yang juga tidak bisa di abaikan seperti persoalan hukum dan hak asasi manusia, pemberdayaan masyarakat melalui program ekonomi kerakyatan maupun program jaminan pendidikan dan kesehatan.
Apakah gerakan “Ayo Kerja’ hanya menjadi pameo dan simbol semata? Apakah program-program yang menjadi kebijakan pemerintah relevan dengan kondisi daerah di Papua? Ataukah langkah ini merupakan awal kebangkitan Papua yang mandiri dan sejahtera. Baru-baru ini, tepatnya tanggal 27 Januari 2016 di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, telah dilaksanakan seminar bertemakan “Tindak Lanjut Kebijakan Presiden Jokowi Untuk Papua Tanah Damai”. kembali pada awal tulisan ini, sebenarnya kegiatan tersebut adalah urusan tagih menagih janji. Sudah sejauh mana upaya membangun tanah Papua di laksanakan.
Bukan lagi rahasia umum, bahwa prioritas Jokowi membangun Papua salah satunya adalah untuk meminimalisir ketimpangan yang berujung pada penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Saya sangat setuju dengan ungkapan Tantowi Yahya anggota Komisi I DPR RI, bahwa program kebijakan membangun Papua masih berbanding terbalik dengan keinginan masyarakat Papua. Apa urgensi pembangunan jalur kereta api dengan psikologi orang Papua, banyak kritikan bermunculan, tol laut pun tidak berjalan sebagaimana mestinya, kejelasan peradilan kemanusian juga belum selesai.
Orang Papua mencintai tanah kelahirannya dan itu tidak lebih. Keinginan mereka tidak tergantikan dengan urusan transportasi, jalan dan bangunan melainkan sebuah nilai identitas. Identitas kemanusiaan tentunya perlu di telaah dengan bijak sebagai capaian Indonesia yang bermartabat. Meminjam istilah konsep identitas nasional Marc F Platnner bahwa persamaan cita-cita dapat mewujudkan identitas politik atau cita-cita bersama.
Melihat konsep tersebut, bahwa harus ada persamaan nilai atau paham nasionalisme kebangsaan sehingga mampu menghantarkan kita bersama dalam konsep identitas nasional. Setuju dengan rumusan revolusi mental, dan saya pikir inilah nuansa sosial yang harus tersosialisasikan ke masyarakat di tanah Papua. Membangun tanah ini memang sangatlah pelik dengan beragam persoalan yang belum selesai. Integrasi bangsa juga menjadi sesuatu hal serius untuk dibicarakan. Rekonseptualisasi dan redefinisi implementasi kebijakan otonomi khusus juga harus lebih menekankan pada perlibatan orang Papua dan penguatan aspirasi lokal.
Penting adanya gerakan duduk bersama menempatkan konsep pembangunan Papua dan melibatkan semua elemen, karena membangun infrastruktur ternyata tidak cukup. Identitas nasional menjadi poros utama konsep nilai. Saya, anda dan mereka saling merangkul dengan nilai identitas masing-masing untuk menyatukan pribadi-pribadi menjadi satu dalam konsep bersama.
Oleh: Karmin Lasuliha (Pemerhati Kebijakan Publik di Papua).
{adselite}