MENARAnews, Palangka Raya (Kalteng) – Tim Pengendali Inflasi Daerah TPID Kalteng memperediksikan akan terjadi Deflasi kembali di Bulan Maret 2016. Sebelumnya, pada Februari 2016 Provinsi Kalteng juga mengalami deflasi sebesar 0,42 persen.
“Secara historis, bulan Maret adalah bulan deflasi di Kalteng karena harga barang yang sempat bergejolak pada pergantian tahun sudah stabil,” ungkap Asisten II Setda Kalteng Syahrin Daulay saat pers release TPID Kalteng, Rabu (2/3/2016) kemarin.
Menurutnya, momen Gerhana Matahari Total (GMT) tidak menjamin berkumpulnya masyarakat dalam jumlah besar ke kota Palangka Raya. Hal ini dikarenakan pada saat yang sama merupakan Hari Raya Nyepi atau 1 Saka Tahun 1938.
Dikatakannya kembali, tingkat hunian hotel dan penginapan di Kota Palangka Raya yang sudah penuh dipesan saat GMT akan memiliki andil dalam penyumbang Inflasi di bulan Maret. Namun angkanya diperkirakan masih lebih rendah dibanding Deflasi yang terjadi di Bulan Februari.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Disbudpar mengenai acara GMT tersebut. Kita akan lihat pengaruhnya pada komoditas penyumbang inflasi guna mengambil langkah antisipasinya. Saya prediksi, tidak sedahsyat Festival Budaya Isen Mulang maupun Ramadhan,” terangnya.
Kepala Bidang Minyak dan Gas Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalteng Marcus J Erwinta, penurunan beberapa komoditas Administered Price atau yang harganya ditetapkan pemerintah, akan mendorong terjadinya Deflasi.
Beberapa komoditas Administered Price yang turun antara lain tarif listrik yang sudah mengalami dua kali penurunan akibat penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan menurunnya harga minyak dunia, yaitu sebesar Rp100 per kilowatt hour (kWh) pada Januari dan Rp40-60 per kWh pada 1 Maret 2016.
“Harga Bahan Bakar Minyak juga mengalami penurunan sebesar Rp200 per liter, sedangkan harga gas elpiji 12 kilogram sudah mengalami penurunan sejak 5 Januari 2016 sebesar Rp5.000 per tabung,” tambahnya.
Analis Ekonomi Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan (KPW) Kalteng Abidin Abdul Haris memperingatkan instansi terkait di wilayah setempat untuk memperhatikan beberapa faktor pendorong terjadinya inflasi, salah satunya komoditas bawang merah.
Pasalnya, BI yang sudah melakukan komunikasi dengan Asosiasi Bawang Merah Indonesia (ABMI) mendapat informasi bahwa luas lahan yang siap di panen dari petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah, hanya berkisar 500 hektar.
“Kalteng masih tergantung pasokan dari luar untuk komoditas bawang merah. Harapan untuk memenuhi kebutuhan pasar adalah dengan membuka kran impor bawang merah dari Vietnam dan Thailand. Tapi, Pemerintah masih belum melakukannya karena khawatir petani bawang merah akan rugi. Saya sendiri belum mendapat info akan dibuka atau tidak,” ujarnya.
Dijelaskanya kembali, tingkat curah hujan yang tinggi membuat petani bawang mengalami kesulitan dalam persiapan bibit, karena harus dijemur. Saat ini lanjutnya, petani bawang merah hanya menjual hasil panen sebelumnya yang jumlahnya kian menipis.
“ABMI tidak bisa melakukan penananam kembali hingga Agustus 2016 karena tingginya curah hujan,” tutupnya.(Arliandie)
Editor : Raudhatul N.
{adselite}