MENARAnews, Medan (Sumut) – Sejarah Pers gang ada di Sumtatra bagian timur sudah ada sejak tahun 1885. Hingga kini sejarah itu terus berkembang mengikuti zaman. Tepat pada hari ini pers nasional memperingati hari lahirnya pers di Indonesia, Selasa (9/2/16)
Di Medan, hari Pers Nasional diperingati dengan mengadakan pameran dan pagelaran musik dari bunyi mesin tik zaman dulu. Pada pameran tersebut ditampilkan surat kabar dari tahun 1886 – 2016. Ini adalah koran yang pernah terbit di Kota Medan.Â
80 koran baik berupa repro dan masih asli dari Belanda dan Jerman. Jejak sejarah pers di Kota Medan juga mengikuti perjalanan kemerdekaan. Bahkan koran dan majalah tersebut sudah menyuarakan kemerdekaan jauh sebelum Kongres Pemuda. Misalnya Surat Kabar “Benih Merdeka” yang terbit pada 1918. Surat kabar ini jelas jelas memiliki nama yang cukup berani. Tagline nya saja “Orgaan oentoek menoentoet keadilan dan kemerdekaan”, katanya.Â
Ichwan Azhari, seorang sejarahwan yang juga ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Unimed mengatakan, surat kabar Benih Merdeka adalah satu-satunya surat kabar yang menyuarakan kemerdekaan jauh sebelum Kongres Pemuda pada 1928.
“Sejarah ini yang mesti ditulis ulang bahwa koran di Medan sudah berani menyuarakan kemerdekaan,” ujar penggagas Pameran Sejarah 100 tahun Surat Kabar dan Majalah yang Terbit di Medan pada (1886-2016).Â
Surat Kabar Benih Merdeka yang diterbitkan Tengku Radja Sabaruddin pada 17 Januari 1916 diklaim Ichwan sebagai surat kabar pertama yang menyuarakan kemerdekaan Indonesia.
Surat kabar lain seperti ‘Oetoesan Sumatera (1926), Bintang Karo (1930), Palito (1926), Perempuan Bergerak (1919), Sumatera Courant (1883) dan bebrpa majalah yang terbit pada kurun waktu tersebut menjadi pusat perhatian pengunjung.Â
Tak hanya itu, dalam pameran yang akan berlangsung dari tanggal 9-11 Februari 2016 itu juga menampilkan pertunjukan musik. Uniknya, alat musik yang digunakan tak seperti alat musik pada lazimnya.Â
Menggunakan mesin tik sebagai mediumnya, tiga seniman asal Unimed menghasilkan bunyi-bunyian unik. Dipandu Mukhlis Hasbullah Dosen Seni Musik Unimed sebagai composer, mereka memainkan musik laiknya pemusik handal. Mukhlis menamai musiknya dengan nama ‘Genderang Mutiara’ .Â
Mukhlus yang masih aktif mengajar di Unimed mengatakan, bagi jurnalis, bunyi juga memiliki peran yang cukup penting. Karena seperti uang ditampilkan, bunyi mesin tik adalah sumber inspirasi para jurnalis tempo dulu.Â
“Bunyi mesin tik adalah sumber inspirasi, sumber kenangan dan semangat bagi jurnalis,” katanya disela-sela acara yang dilaksanakan di Digital Library Unimed, Sabtu (9/2).Â
Mukhlis juga menjelaskan kenapa karya orisinilnya itu dinamai Genderang Mutiara. Dia menerangkan nama mutiara diambil dari surat kabar yang pernah ada di Kota Medan terbitan tahun 1930. Dia mengatakan, mutiara adalah semangat dan bisa bersinar dimana saja. Sedangkan genderang, Mukhlis menjelsakan, adalah bunyi – bunyian yang menghasilkan semangat.
“Jadi digambarkan musik ‘Genderang Mutiara’ ini sebagai semangat yang akan terus bersinar,” katanya.Â
Mukhlis juga memberikan kritik tentang perbedaan jurnalis dulu dan sekarang. Baginya, saat ini wartawan kurang banyak yang benar-benar memiliki wawasan. Berbeda dengan dulu, wartawan memiliki wawasan yang luas hingga mampu membungkus berita dengan apik.Â
Berbeda dengan jurnalis tempo dulu yang memiliki gagasan dalam menulis berita.
“Sehingga, apabila mereka (jurnalis) tidak memiliki gagasan untuk membungkus berita menjadi sesuatu yang menarik, mereka tidak berani untuk menjadi wartawan,” katanya.Â
Dia berharap, para jurnalis masa kini harus memiliki wawasan yang multi disiplin sehingga bosaenghasilkan berita-berita yang berkualitas. (yug)
{adselite}