MENARAnews, Medan (Sumut) – Tampaknya langkah Aliansi Sumut Bersatu (ASB) dalam memperjuangkan hak penganut kepercayaan dan penghayat memang serius. Hari ini, Selasa (15/12) ASB kembali menggelar diskusi publik bertema, “Penghayat Bertanya, Pemerintah Menjawab”.
Acara yang digelar di Hotel Grand Sakura Siang tadi diramaikan oleh komunitas penganut kepercayaan yang ada di Sumatra Utara seperti Ugamo Bangso Batak dan Aliran Kepercayaan Parmalim. Acara ini digelar sebagai upaya ASB bersama penganut kepercayaan untuk mendorong komitmen pemerintah kota maupun daerah dalam hal pemenuhan hak – hak dasar komunitas agama leluhur atau penganut kepercayaan.
Direktur program ASB Ferry Wira Padang mengatakan, selama ini diskriminasi terhadap penganut kepercayaan masih terjadi. ASB sebagai organisasi yang concern untuk memperjuangkan hak-hak kaum minoritas sudah menjalankan program ini sejak maret 2015. “Dalam program hari ini kita ingin, hak-hak sipil kelompok minoritas terpenuhi sebagai warga negara,” ujarnya.
Selama ini penganut kepercayaan kerap kali dianggap sebagai penyembah setan atau dalam sebutan bahasa batak ‘Sepele Begu’. Ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang diterima oleh para penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan. Sebelum difasilitasi ASB untuk memperjuangkan hak-hak sebagai warga negara, komunitas penghayat hanya berdiam diri karena menganggap dirinya hanyalah minoritas. “Sekarang ini mereka sudah tergugah untuk berjuang atas hak-hak sipil mereka,” ujarnya.
Disumatra Utara terdapat Parmalim dan Ugamo Bangso batak sebagai komunitas penganut kepercayaan. Keduanya adalah penganut agama leluhur yang memiliki banyak penganut.
Wanita yang biasa disapa Ira ini mengatakan, beberapa diskriminasi yang masih dirasakan para penganut adalah masalah pengurusan administrasi kependudukan. Terdapat ketidakseragaman penulisan kolom agama di KTP. “Mereka itu terkadang tidak seragam dalam penulisan KTP, ada yang dibuat dengan agama kristen, ada yang kosong, ada yang dibuat kepercayaan,” ujarnya.
Ini tidak serta merta keinginan mereka, karena menurut Ira, ketika mereka ingin mengurus kependudukan mereka harus memilih dari enam agama yang diakui di Indonesia.
Belum lagi pada sektor pendidikan, anak-anak penganut tidak mendapatkan pendidikan agama berdasarkan kepercayaan mereka. Kerap kali mereka harus mengikuti pelajaran agama yang ada di kurikulum sekolah. “Mereka tidak difasilitasi untuk mempelajari agama mereka. Malah mereka harus memilih salah satu agama yang ada di sekolah, itu harus benar-benar mereka pelajari agar mereka mendapatkan nilai disekolah,” ujarnya.
Namun, saat ini pemerintah sudah memulai program untuk pengurusan administrasi kependudukan. Pemerintah sudah membuat kolom kepercayaan pada pengisian identitas penduduk. “Dengan sistem E-KTP, itu sudah sangat bagus. Sudah diberikan pilihan yang kepercayaan,” katanya.
Sayangnya kurangya sosialisasi yang dilakukan pemerintah, membuat upaya ini belum berjalan maksimal. Setiap elemen dari institusi pemerintahan banyak yang belum mengetahui bawa sudah ada kolom pengisian identitas agama untuk penganut kepercayaan.
Saat ini, ASB sedang menyusun kurikulum pendidikan untuk penganut kepercayaan. Nantinya, kurikulum ini akan dijadikan rekomendasi ke Kemendikbud RI. (yug)
{adselite}