MENARAnews, Medan (Sumut) – Anak-anak korban kekerasan di Sumatera Utara masih belum terlindungi. Penyebabnya adalah masih lemahnya hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Akibatnya, para korban menjadi kelompok yang paling menderita dari lemahnya hukum. Seperti penuturan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) Fatwa Fadillah.
“Saat ini Sumatera Utara masih cenderung mengabaikan masalah anak-anak yang menjadi korban kekerasan,” ujar Fatwa, Selasa (29/12)
Sepanjang tahun 2015 YPI menemukan kasus kekerasan kepada anak yang cukup menghawatirkan. Dilansir dari beberapa media massa dan kasus yang ditangani YPI, 204 anak menjadi korban tindak kekerasan.
Angka paling tinggi adalah dari kasus pencabulan. 90 Orang anak menjadi korban kasus ini. Disusul kasus penganiayaan 48 korban dan kasus pemerkosaan 29 korban, selebihnya kasus pencurian, pembunuhan, penculikan, penelantaran dan incest.
Usia korban dimulai dari 1 sampai 18 tahun. Namun yang paling dominan menjadi korban adalah mereka-mereka yang berusia 15-16 tahun 64 korban, 17-18 tahun sebanyak 32 korban.
Dari sisi karakteristik pelaku yaitu orang baru dikenal, tetangga, guru, orang tua, dan teman juga ikut dominan dalam melakukan kekerasan terhadap anak. Dimana kota Medan menempati urutan korban terbesar mencapai 64 korban di antaranya merupakan korban pencabulan dan pemerkosaan, disusul Deli Serdang sebanyak 44 korban, Langkat dan Pematang Siantar sebanyak 12 korban.
Fatwa mengakui faktor teknologi dunia maya sepertinya ikut memberi andil terjadinya berbagai kasus pencabulan dan kekerasan lainnya, di mana pelaku utamanya dari kalangan remaja. Peran domestik atau keluarga juga sangat besar memberikan pengaruh terhadap sikap tumbuh kembang anak, dengan perhatian dalam bentuk kasih sayang serta menjadikan anak sebagai teman agar anak mampu mencurahkan permasalahan yang di hadapi anak.
“Sejauh ini, berdasarkan penanganan kasus yang dilakukan YPI, acapkali korban kekerasan tidak mendapatkan intervensi terutama dalam pemulihan psikologisnya, bahkan sebaliknya justru stigma negatif dari masyarakat yang mereka terima,” ungkapnya.
Untuk itu, sebut Fatwa, hal yang sangat penting adalah sikap negara atau pemerintah untuk komit terhadap perlindungan anak, sesuai yang dimandatkan oleh Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak.
“Karena anak merupakan generasi penerus bangsa di masa mendatang,” sebutnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pembina YPI Edy Ikhsan mengatakan, dalam hal penegakan hukum anak yang berkonflik dengan hukum khususnya anak sebagai pelaku dinilai masih belum adil.
“Restoratif justice dan diversi masih belum terimplementasikan dengan baik, masih sebatas wacana. Jadi tidak ada kata ampun bagi anak yang mencuri sandal, atau mencuri sebungkus kue, masih disamakan dengan anak yang terbukti membunuh misalnya,” katanya, Selasa (29/12)
Karenanya, tambah Edy, institusi penegak hukum diharapkan harus meningkatkan kapasitas aparatnya dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, terutama memaksimalkan pelayanan dan penerapan restoratif justice dan diversi.
“Sedapatnya penanganannya jangan sampai masuk proses hukum,” pungkas Edy.
Oleh karenanya, Edy berharap agar di tahun 2016 semua elemen tetap memberikan dan mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak dan melindungi mereka dari segala tindakan kekerasan, perlakuan salah dan eksploitasi. (yug)
{adselite}