MENARAnews, Medan (Sumut) – Maraknya kasus konflik lahan di Sumatera Utara sangat menyengsarakan petani. Hingga Oktober 2015, ratusan konflik tanah belum punya langkah konkrit dalam penyelesaiannya. Ratusan petani menjadi korban konflik lahan.
Terpilihnya Irjen Pol Drs Ngadino SH,MM sebagai Kepala Kepolisian Daerah Sumatera memberikan angin segar dalam penyelesaian konlik tanah. Dikutip dari beberapa surat kabar, dirinya berjanji untuk memberantas mafia Tanah di Sumatera Utara. Sejarah mencatat, konflik agraria sudah ada mulai dai era awal kemerdekaan.
Herdensi Adnin, Koordinator KontraS Sumut Dalam Siaran Pers yang digelar, Senin (5/10) di Sekretariat KontraS Sumut, Jln B. Katamso Gang Bunga, Medan mengatakan, sampai sekarang pemerintah dan aparat penegak hukum tidak memiliki mekanisme yang jelas dalam penyelesaian konflik lahan.
Masyarakat sangat berharap kinerja Kapolda yang baru dapat memberikan rasa aman dan rasa keadilan bagi petani yang mengalami konflik lahan. Tetapi Herdensi mengatakan, kalau ini hanya sekedar wacana saja akan menjadi hal yang sia-sia.
“Karena masyarakat sudah muak dengan wacana saja, kita menuntut kapolda Sumut mempunyai langkah Riil untuk menangani konflik mafia tanah di Sumatera Utara”, katanya.
Koordinator KontraS Sumut itu mengatakan konflik tanah di Sumatera Utara terjadi karena banyaknya permainan mafia tanah di Sumatera Utara. Salah satu kasus yang masih hangat diperbincangkan adalah kasus perampasan tanah pertanian rakyat oleh sekelompok preman. Tanah milik Dirja Sebayang DKK, dirampas oleh orang yang mengaku bernama Putra Sembiring. Tanah milik Dirja Sebayang DKK yang berada di Dusun VIII Sukabumi Lama, Desa Pujimulyo, Deli Serdang dan Dusun IX Dea Medan Krio, Sunggal Deli Serdang seluas lebih kurang 21 Ha yang sudah mereka miliki dengan alas hak yang jelas, dirampas dengan paksa oleh Putra Sembiring.
Preman yang mengklaim tanah tersebut membawa alas hak palsu. Kasus ini sudah dilaporkan ke jajaran Polda Sumatera Utara sejak 2014, namun hingga sekarang belum ada titik terang dari kepolisian. Sampai sekarang tanah milik Dirja Sebayang DKK masih dikuasai oleh Putra Sembiring yang menggunakan jasa preman untuk menjaga lahan.
Tak hanya lahan petani yang diambil, Konflik lahan juga banyak memakan Korban. Dari amatan KontraS Sumut dari 2011 – 2013, enam orang nyawanya melayang , dan ratusan mengalami luka-luka.
Konflik agraria yang paling menyita perhatian publik Sumatera Utara adalah konflik antara masyarakat petani dengan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II). Konflik ini paling tidak di pengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama adanya pengambilalihan lahan milik masyarakat secara paksa oleh pihak perekebunan nusantara II, baik melalui mekanisme hak guna usaha maupun tanpa hak guna usaha, pengambilan paksa ini telah berlangsung sejak tahun 1972 dan sampai tahun 2015.
Menurut catatan KontraS Sumatera Utara luas lahan masyarakat yang diambil secara paksa oleh PTPN II mencapai + 56.000 Ha. Kedua dikeluarkannya tanah seluas 5.873.068 Ha dari HGU PTPN II tanpa peta dan peruntukan yang jelas. Pada tahun 2002 melalui SK BPN Pusat No, 42, 43, dan 44 / HGU/ BPN/2002 Pemerintah pusat mengeluarkan tanah seluas 5.873,068 ha dari HGU PTPN II.
Dari 5.873,068 itu sebanyak 3.366,55 ha terletak di kabupaten Deli Serdang, 1.210,868 ha di Kabupaten Langkat dan 238,52 ha di kota Binjai. Sementara sebanyak 1.057,13 ha lagi masih menunggu putusan kepala BPN pusat.
Dalam SK BPN Pusat No, 42, 43, dan 44 / HGU/ BPN/2002, Pemerintah pusat hanya menyebutkan luasan tanah yang dikeluarkan dan jumlah lahan di masing-masing daerah tanpa menyebut lokasi (desa, kecamatan, apalagi patok – patok tanah yang memudahkan identifikasi keberadaan tanah tersebut). Situasi ini memberikan peluang dan ruang pada spekulan atau mafia tanah unuk turut andil dalam perebutan tanah eks HGU PTPN tersebut, bahkan dibeberapa daerah semisal Kabupaten Deli Serdang tanah-tanah yang diduga eks HGU PTPN II tersebut telah berubah menjadi hak milik pegusaha tertentu yang kemudian menyulap tanah-tanah tersebut menjadi perumahan mewah, perkebunan, pusat pertokoan dan lain sebagainya.
Selain itu, pihak perkebunan nusantara (direksi) secara ekonomi juga memiliki kepetingan terhadap tanah-tanah tersebut.
Contoh kasus yang bisa kita lihat adalah sewa-menyewa lahan perkebunan yang diduga eks HGU oleh pihak PTPN kepada beberapa pengusaha, baik untuk penanaman tebu, jagung dan lain sebagainya, wajar saja jika pihak PTPN II terkesan menghalang-halangi pemetaan eks HGU yang dilakukan oleh tim dari Forum Komuikasi Pimpinan Daerah.
Herdensi menuntut Kapolda Sumut Irjen Pol Drs Ngadino SH,MM menyelesaikan Konflik Lahan dan memberantas Mafia Tanah yang ada di Sumatera Utara. “Kapolda juga harus melakukan evaluasi kepada jajarannya dalam penyelesaian konflik lahan dan Pemberantasan Mafia Tanah”, tegasnya.(yug)
{adselite}