MENARAnews, Medan (Sumut) – Duta Besar Australia untuk Indonesia, Paul Grigson mengadakan kunjungan kerja ke Medan. Disela-sela kunjungan Paul menyempatkan dirinya mengunjungi Rumah Belajar Inklusi KKSP, Kamis (15/10).
Didampingi Sekretaris I Bidang Ekonomi Pembangunan, David Gottlieb dan Senior Manager Bidang Pendidikan dan Komisi Perdagangan Australia, Siska Wilyhana, Paul mengunjungi RBI yang berada di jalan Pimpinan, Kecamatan Medan Perjuangan. Rombongandisambut langsung oleh, disambut langsung oleh Manager Program KKSP, Syamsul yang turut didampingi oleh fasilitator Program Peduli KKSP tingkat SKPD, Nurhamidah, fasilitator RBI KKSP Jl. Brig. Katamso, Armansyah serta fasilitator RBI KKSP Jl. Pimpinan, Nasriati selaku tuan rumah.
Setelah sampai disana, Paul mendengarkan langsung keluhan dari anak jalanan yang belajar disana. Salah satunya Raga, dirinya memiliki keinginan untuk bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Menurut Raga, selama ini masih ada stereotype terhadap anak jalanan. Hal ini disebabkan, anak jalanan masih banyak yang terjebak dengan kelamnya kehidupan jalanan.
“Misalnya ngelem, itu bukan kemauan kami dari awal, Saya terpaksa menjadi anak jalanan yang berjuang untuk hidup dengan cara mengamen. Sebenarnya, saya sendiri pun gak mau kayak gini. Karena aku ingin bisa tetap sekolah sampai kuliah, agar bisa meraih cita-cita yang kuimpikan,” ungkapnya.
Raga berharap, pemerintah bisa memfasilitasi mereka supaya bisa mengembangkan kreativitas. Jadi nantinya tidak harus mengamen dijalan tetapi bisa bermain gitar dan belajar musik seperti di sekolah musik.
“Saya juga berharap agar pemerintah bisa memberikan kebebasan bagi anak jalanan agar tidak ditangkap secara brutal lagi,” sebutnya.
Menanggapi hal tersebut, Paul mengatakan bahwa dirinya sangat setuju dengan pendapat yang disampaikan anak jalanan di RBI KKSP. Sebab menurutnya, anak jalanan bukanlah sebuah malapetaka ataupun aib yang harus dihindarkan.
“Seharusnya anak jalanan itu harus mendapat pendidikan yang sama seperti anak lainnya, agar mereka (anak jalanan) ini tidak salah arah,” ungkap Paul.
Selain itu, Paul juga menjelaskan bahwa masalah anak jalanan tidak hanya ada di Indonesia saja. Akan tetapi menurutnya, hampir ada di seluruh negara yang ada di dunia.
Lantas ia pun mengatakan bahwa di Australia pun memiliki masalah dengan anak jalanan. Dimana menurutnya, para anak jalanan yang ada disana (Australia) merupakan anak berasal dari berbagai kejadian, seperti perceraian orangtua, merasa tidak nyaman dengan orangtua sendiri, dan lain-lainnya.
“Di Australia, faktor menjadi anak jalanan bisa disebabkan oleh berbagai hal. Satu diantaranya ialah hubungan keluarga yang tidak harmonis, sehingga membuat anak pergi keluar rumah karena sudah merasa tidak nyaman lagi. Namun, poin pentingnya ialah, tidak ada satupun dari anak gelandangan itu benar-benar ingin untuk menjadi anak gelandangan,” pungkasnya.
Selain mendengar keluhan dari para anak jalanan, Paul menyempatkan diri melihat para anak jalanan membuat kerajinan tangan dari limbah botol minuman.
Disana, Paul dihibur dengan musik ala anak jalanan. Alunan gitar yang khas, serta bunyi ketipung (pipa air yang disusun seperti gendang, -red.) serta nyanyian merdu dengan lagu – lagu yang biasa dinyanyikan saat mengamen dipertontonkan. (yug)
{adselite}