MENARAnews, Pematangsiantar (Sumut) – Mengenakan kemeja dengan motif Gorga Batak yang menjadi motif khas kesenian Batak dan hasil kerajinan tangan yang disebut Gajut biasa digunakan pada saat resepsi pernikahan sebagai tempat sirih.
Fonny Sitanggang terlihat sangat bersemangat memperkenalkan sebagian dari budaya batak terkhusus kepada kaula muda.
Berawal sejak dua puluh tahun lalu, Fonny Sitanggang merintis usaha tenun dan jual beli Ulos Batak di salah satu pasar tradisional terbesar di Pematangsiantar, Pasar Horas. Siapa yang tak kenal dengan Pasar Horas jika hendak berkunjung ke kota kedua terbesar di Sumatera Utara ini.
Pada awalnya Fonny hanya menjual ulos sebagai syarat berjalannya proses adat di suku batak, yaitu pada acara kelahiran, pernikahan maupun acara kematian. Melihat siklus yang monoton seperti itu, Fonny berpikir bagaimana ulos bisa digunakan setiap harinya dan beradaptasi dengan mode yang semakin hari berkembang pesat.
Dimulai sejak lima tahun lalu, Fonny memulai hal-hal baru yang bisa dikembangkan berbahan dasar ulos seperti tas, kotak tisu, dompet, sepatu dan masih banyak yang lain. Melesunya aktivitas produksi penenun ulos juga serta merta membuat Fonny harus berpikir keras bagaimana bisa membangkitkan produktivitas penenenun yang sudah menjadi mata pencaharian.
Pemberdayaan penenun dan pengrajin ulos tersebut membawa hasil yang memuaskan. Sejak memulai bisnis fashion ulos, pendapatan penenun meningkat hingga 150 persen setiap minggunya. Kemajuan tersebut ditambahi dengan orderan yang melonjak terutama datang dari luar kota.
Untuk biaya modal pengembangan usaha sendiri, Fonny mengaku mengumpulkannya secara swadaya tanpa ada pihak ketiga seperti bank maupun koperasi. Berkat dukungan keluarga dan orang-orang terdekatnya, usaha fashion ulos ini berjalan dengan cepat dan diminati oleh banyak orang.
Saat ditanya, siapa peminat terbanyak baju fashion ulos ini, Fonny mengaku justru lebih banyak dari luar suku Batak, peminatnya kebanyakan dari suku Jawa dan Melayu.
“Justru peminatnya banyak dari luar suku Batak, apalagi kalau kita buka pameran di festival budaya di luar kota, peminatnya selalu misalnya dari suku Jawa dan lainnya,” ucapnya.
Lebih lanjut, ketika ditanya apakah ada peran maupun campur tangan pemerintah untuk mengembangkan usaha ini, Fonny mengaku sampai saat ini belum ada bantuan apapun dari pemerintah dan Ia juga tidak terlalu berharap dan lebih mengutamakan kemampuan kelompoknya dalam berkompetisi dan berkreasi mengembangkan warisan leluhur tersebut.
Ia juga berpesan kepada anak muda saat ini, terkhusus anak muda batak, agar lebih mau melestarikan dan mengembangkan kesenian terutama identitas yang mencerminkan budaya batak. Alsannya, anak muda lah yang akan melanjutkannya kepada generasi berikutnya agar budaya itu tetap terjaga dan diwariskan hingga generasi seterusnya. (ded)