MENARAnews, Medan (Sumut) – Aliansi Sumut Bersatu (ASB) menggelar diskusi publik dalam hal pemenuhan hak-hak konstitusi agama leluhur dan agama minoritas di Sumut bersama Kelompok perwakilan kelompok agama leluhur dan minoritas, Lembaga Swadaya Masyarakat, mahasiswa serta elemen masyarakat yang peduli terhadap plularisme di Hotel Grand Antares Medan, Kamis (2/7).
Pembicara yang hadir, Direktur ASB Veryanto Sitohang, Anggota DPRD Sumut, Sarma Hutajulu, Kabag Infokom Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Sumut, Afrianto Saragih.
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari pihak ASB oleh Ferry Wira Padang mengenai data temuan di lapangan dari 10 Kecamatan di Kota Medan dengan komposisi responden penganut agama penghayat atau agama leluhur, menemukan temuan bahwa kolom agama di KTP mereka tidak sesuai dengan agama yang mereka anut.
“Ada yang dikosongkan dan ada juga yang dibuat jadi agama lain ada juga yang kesulitan mengurus KTP atau KK karena masalah agama,” ucapnya.
Sementara itu, Veryanto mengemukakan bahwa tidak hanya di Sumut kelompok agama tersebut mendapatkan diskriminasi dari pemerintah. Hampir rata-rata juga mengalami hal yang sama.
“Pemerintah tidak peka dengan kelompok agama minoritas dan berujung pada diskriminasi,” ujarnya. Ia juga menyayangkan pendidikan agama di sekolah terkadang mendiskriminasikan mereka, dengan menyuruh siswa penganut agama pengahayat untuk memilih mata pelajaran agama mayoritas.
Hal tersebut sudah dialami oleh Purba, salah satu pengurus sekaligus penganut agama leluhur Ugamo Bangso Batak yang mengalami diskriminasi dari pemerintah, misalnya saja saat putrinya hendak melamar ke salah satu rumah sakit ditolak karena masalah kolom agama yang kosong, juga dengan putranya yang sudah pada tahap akhir mencoba penerimaan Polri harus gugur karena hal serupa.
“Dua anak saya terhambat hanya karena masalah kolom agama kosong, memang apa yang salah dengan agama kami ?,” ungkapnya.
Hal tersebut langsung ditanggapi oleh Afrianto Saragih, bahwa semua sudah memiliki prosedur. Agama yang tidak tertera dalam kolom KTP biasanya dituliskan kepercayaan saja. Hal tersebut memang sudah banyak Dia temui di lapangan pada saat masyarakat hendak mengurus KTP dan KK.
“Hak sipil seperti itu memang menjadi tanggungjawab negara, dan pada saat menikah bisa disaksikan secara sah oleh tetua ada dimana organisasi kelompok agamanya sudah terdaftar di kementerian dalam negeri dan memiliki sertifikat, itu sah,” tegasnya.
Afrianto mengakui masih banyak masalah yang dia hadapi dengan hal serupa, misalnya pegawai yang masih mengutip pungutan liar, lambannya proses penyelesaian urusan terutama di dinasnya. Namun dia berharap masyarakat tetap mengawasi dan melaporkan apabila ada pegawai yang masih bersikap seperti itu. “Laporkan pada saya apabila masih ada pegawai dukcapil yang meminta uang saat mengurus berkas di kantor,” ujarnya.
Sarma Hutajulu juga menyayangkan peran pemerintah yang lamban dalam menangani hal tersebut. Menurutnya semua sudah memiliki produk hukum, permasalahannya adalah apakah pegawai pemerintahan terkait sudah tahu dan paham terhadap undang-undang tersebut.
“Produk hukum sudah jelas, dan ini menjadi hak dasar yaitu pemenuhan administrasi kepada warganya yang harus dipenuhi pemerintah,” ucapnya.
Laporan yang sering Ia terima adalah saat mengurus kartu keluarga tidak hanya penganut agama penghayat sering dipersulit bahkan tidak direspon baik. Namun pada momen tertentu seolah mereka menjadi komoditas misalnya menjelang pemilihan umum. “Kita dapat temuan di daerah Register 40 banyak warga pendatang yang sama sekali tidak memiliki identitas namun bisa memilih, caranya dengan menerbitkan formulir khusus, ini kan janggal rasanya,” ujarnya.
Sarma juga mengajak kepada kelompok penganut agama leluhur untuk tetap berjuang bersama, meminta agar pemerintah memenuhi apa-apa yang menjadi kebutuhan warganya, bukan malah ikut mendiskriminasi. (ded)