MENARAnews, Medan (Sumut) – Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU menyelenggarakan Dialog Publik bertema “Pancasila di Tengah Ancaman Ideologi Dunia, Masih Relevankah Gerakan Anti Komunis di Tengah Era Globalisasi?”, bekerja sama dengan PADI (Patrnership of Advancing Democracy and Integrity) dan LSM Martabat Sumut di Aula Wisma USU, Medan (27/6).
Pembicara yang hadir yaitu, Prof. Dr. Usman Pelly, MA., Ph.D (Antropolog/Guru Besar Unimed), Abdul Rahman Melayu, SH, MH (Dosen FH USU), dan M. Tajudin Nur (Ketua Laskar Ampera Angkatan 66) beserta para Tokoh Masyarakat, Organisasi Kepemudaan dan Organisasi Mahasiswa. Diaolog tersebut dimoderatori oleh Samson Nababan (Ketua DPW LSM Martabat Sumatera Utara).
Dalam materi yang disampaikan, Profesor Usman mengatakan bahwa saat ini masyarakat semakin minim untuk memahami lebih dalam apa itu Pancasila sebagai sebuah falsafah berbangsa dan bernegara. Pemahaman Pancasila sangat penting, mengingat perjuangan para pembesar bangsa sangat panjang dalam merumuskan suatu ideologi bangsa yang kemudian menjadi pedoman maupun paradigma bersama.
“Generasi muda saat ini sedang mengalami degradasi pemahaman akan Pancasila, padahal itu sangat penting mengingat generasi muda lah yang akan membawa tongkat estafet kemajuan bangsa ini,” ucapnya. Menurutnya generasi muda harus lebih peka,berjiwa nasionalis dan patriotik dalam membela negaranya terutama dari paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Dalam pemaparannya, Indonesia pernah mengalami peristiwa gelap, yaitu pembantaian kroni-kroni Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa G 30S PKI. Paham komunis haruslah ditiadakan, karena substansinya berbeda dengan Indonesia, dan komunis kita anggap sebagai paham ekstrim yang bisa menodai ideologi bangsa ini.
Hal senada juga disampaikan oleh Abdul Rahman Melayu, bahwa saat ini kita semakin dijajah oleh sistem ekonomi asing yang melunturkan semangat gotong royong yang ada pada Pancasila. Terlebih memasuki dunia globalisasi dan pasar bebas, pemahaman asing akan bebas masuk dan menjadi ancaman terhadap keberadaan Pancasila apabila tidak dijaga oleh individu maupun seluruh masyarakat.
“Paham-paham ekstrimis saat ini sudah disisipkan pada kepentingan ekonomi dan politik. Menjadi tugas kita untuk menjaga Pancasila agar tetap pada koridornya sebagai sebuah ideologi bangsa,” tegasnya.
Tajudin Nur juga menambahkan bahwa perjuangan setiap masa pastilah berbeda dan saat ini berada pada masa yang jauh dari kemerdekaan. Namun satu hal yang tidak boleh hilang adalah rasa cinta kita terhadap tanah air Indonesia.
“Kita boleh berbeda generasi, tetapi semangat bela negara haruslah tetap dijaga sebagai seorang warga negara yang mencintai negerinya,” ucapnya.
Dialog sempat tegang ketika seorang peserta bertanya kepada pembicara dengan intonasi tinggi, dan mengkritik pembicara dan PEMA FISIP selaku panitia dalam hal penulisan judul. Dalam tanggapannya peserta yang juga salah seorang mahasiswa tersebut menyatakan bahwa terkait komunisme bukan ideologinya yang salah melainkan oknum-oknum. Ia menganalogikan Tuhan dan materi sebagai hakekat. “Apakah Tuhan itu ide atau materi? Apakah komunis benar-benar salah, atau yang salah adalah aplikasi yang dilakukan oleh orang-orang dalam komunis itu sendiri. Sama halnya dengan islam yang tidak salah, namun pelaku teror yang salah ? Hal tersebut sontak mendapat reaksi keras dari sejumlah peserta lain khususnya perwakilan Angkatan 66 yang hadir dalam dialog tersebut. Namun, situasi kembali kondusif setelah diarahkan oleh moderator.
Salah seorang peserta, Pasko Damanik, mengatakan bahwa diskusi kebangsaan seperti ini harus intensif diadakan, alasannya karena mahasiswa semakin tajam pemahamannya terhadap wawasan nasional yang mampu memupuk rasa cinta tanah air dan bela negara.
Pada akhir dialog tersebut, moderator bersama pembicara menyimpulkan sejumlah rekomendasi berupa ajakan kepada seluruh elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa, dan unsur pimpinan daerah di Sumut untuk :
a. Menentang segala upaya dan tindakan yang bertujuan membangkitkan komunisme di Indonesia.
b. Meminta kepada Presiden RI, Joko Widodo agar membatalkan rencananya memohon maaf kepada keluarga PKI pada 17 Agustus 2015.
c. Mendesak Presiden RI dan DPR RI agar membatalkan pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Jilid II sekaligus membatalkan rencana pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional. Kedua rancangan kebijakan tersebut sangat kental akan kepentingan kelompok komunis di Indonesia.
d. Meminta kepada Presiden RI dan rakyat Indonesia untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945.
e. Menyadarkan dan membangkitkan perlawanan masyarakat akan bahaya komunis yang mulai bangkit secara terang-terangan maupun komunis yang menyusup dengan Kerja Kalangan Musuh (KKM), dengan melibatkan generasi muda, mahasiswa, cendekia dan elemen masyarakat lainnya.
f. Meningkatkan ekonomi rakyat Indonesia untuk mencapai kesejahteraan agar tidak muda diadu domba oleh paham komunis.
(ded/AK)